A. Pengertian Qira’at
Al-Qur’an
Qiraat adalah
jamak dari qira’ah, yang berarti “ bacaan “, dan ia adalah masdar ( verbal Noun
) dari qara’a. menurut istilah ilmiah, qiraat adalah satu mazhab ( aliran
)pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’sebagai suatu
mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. (Manna’ Khalil al-Qattan, 2009:247)
Sedangkan
secara terminologis, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan
oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Menurut Imam
az-Zarkasyi misalnya, mengemukakan sebagai berikut: “ Qira’at yaitu: perbedaan
lafal-lafal al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan
huruf-huruf tersebut,seperti takhfif,tasydid,
dan lain-lain. Dalam hal ini, qira’ah harus
melalui talaqqi dan musyafahah ( diterima langsung ) karena
didalam qira’ah banyak hal yang tidak bisa dibaca, kecuali dengan mendengar
langsung dari seorang guru dan bertatap muka.”( Hasanuddin AF,1995:112).
Dari sisi
istilah, az-Zarqani memberikan pengertian qira’ah yaitu sebagai mazhab yang
dianut oleh seorang imam dalam membaca Al-qur’an yang berbeda satu dengan yang
lainnya dalam pengucapan Al-qur’an, serta disepakati riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun lafaznya.(Ahmad
Izzan, 2009:202)
Menurut
Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau
menyampaikan kata-kata ( kalimat ) Alquran, baik yang disepakati maupun yang
diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya (Yusuf, Kadar M,
2009:46).
Abduh Zulfidar Akaha menuturkan
bahwa qira’ah adalah bacaan yang disandarkan kepada salah satu seorang imam
Qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas, seperti qira’ah Nafi’ dan Ibnu Katsir
( Ahmad Izzan, 2009:202 ).
B.
Tokoh-Tokoh Qira’at
Al-Qur’an
Penulisan
mushaf telah dilakukan dengan bahasa Quraysy, atas perintah ‘Utsman kepada Zayd
bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sa’ad bin ‘Ash dan ‘Abdu rrahman bin Harits
bin Hisyam. Ketika mereka menyalin mushaf itu, ‘Utsman berkata : apabila
terjadi perselisihan antara kamu dan Zayd bin Tsabit, maka tulislah mushaf itu
dengan bahasa Quraysy, sebab Al- Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraysy.
Kemudian
‘Utsman mengirimkan beberapa mushaf ke daerah-daerah, dan mulailah setiap
penduduk daerah membaca sesuai dengan apa yang tertulis dalam mushaf. Mereka
menerima bacaan dari para sahabat yang langsung menerima dari Rasulullah SAW,
kemudian mereka melanjutkan sebagaimana dilakukan para sahabat yang menerima
langsung dari Rasulullah SAW.
Penduduk di
daerah-daerah telah bersepakat untuk menerima bacaan para imam dan
menyebarluaskannya, sehingga tidak terjadi perbedaan bacaan ( Ibrahim,
Al-Ibyari, 1995: 106 ).
Pada permulaan
abad pertama Hijrah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang membulatkan
tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan
menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya,sehingga
mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari
generasi kegenerasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang
kepada mereka dihubungkanlah ( dinisbahkanlah ) qiraat hingga sekarang ini. Para ahli qiraat tersebut dimedinah ialah: Abu Ja’far
Yazid bin Qa’qa’, kemudian Nafi’ bin Abdurrahman. Ahli qiraat di Mekkah ialah:
Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al-A’raj. Di kufah ialah: ‘Asim bin Abun
Najud, Sulaiman al-A’masy, kemudian Hamzah dan kemudian al-Kisa’i. Di Basrah
ialah: Abdullah bin Abu Ishaq, Isa Ibn ‘Amr, Abu ‘Amr ‘Ala’, ‘Asim al-Jahdari
dan Ya’qub al-Hadrami, dan di Syam ialah Abdullah bin ‘Amir, Isma’il bin
Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid
al-Hadrami. (Manna Khalil Al-Qattan, 2009:248).
Ketujuh orang
imam yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh dunia di antara nama-nama
tersebut ialah Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn
Kasir (Manna Khalil Al-Qattan, 2009: 248).
C. Sejarah Qira’ah Al-Qur’an
Dahulu pada dasawarsa pertama Abad IV Hijrah, seorang
ulama dari Baghdad
pernah dikecam. Ia dipandang telah menyebarkan persoalan dengan meresahkan
orang-orang yang berpandangan picik bahwa qira’at ini adalah tujuh huruf yang
disebut dalam al-Hadits. Ia telah mengakibatkan kerancauan pemahaman orang
banyak terhadap pengertian “ tujuh kata “ yang dengannya Al-Qur’an
diturunkan.Abu Bakar Ahmad, alias Ibnu Mujahid, demikian nama ulama yang
dituduh itu, beliau dituduh melahirkan sesuatu yang baru dan telah menyebabkan
orang-orang menjadi sesat. Sebab apa yang ia lakukan waktu itu hanyalah
mengoleksi qira’at-qira’at para Imam terkemuka. Secara tidak sengaja melahirkan
tuduhan tadi dan seorang yang dengan “
pedas “ telah mencapnya sebagai “ si pembikin tujuh “ itu adalah Abu al-Abbas bin Amar yang pada awal abad V
Hijrah tersohor sebagai “ Imam Muqri “ istilah qira’at sab’ah di zaman Abu
al-Abbas.
Istilah
qira’at sab’ah di zaman Abu al-Abbas memang belum populer. Tetapi tidak berarti
tidak ada. Qira’at ini sesungguhnya telah akrab didunia akademis sejak Abad II
Hijrah. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qira’at itu karena
kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya mengambil sekaligus memasyarakatkan
satu jenis qira’at saja. Sementara qira’at-qira’at lainnya, kalau tidak
dianggap tidak benar ditinggalkan dan tidak ditoleh. Apa yang dilakukan Ibnu
Mujahid adalah sebagai terobosan baru didunia qira’at. Seperti yang sering
terjadi, terobosan-terobosan baru yang pertama kali menginventarisasi tujuh
bacaan tokoh-tokoh yang mempunyai sanad bersambung langsung kepada Sahabat
Rasulullah saw, terkemuka. Mereka adalah[1]:
1.
Abdullah bin Katsir al-Dariy[2]
dari Makkah ( wafat 120 H ). Al-Dary termasuk generasi tabi’in. Qira’at yang ia
riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain. Sahabat
Rasulullah yang sempat ditemui Al- Dariy diataranya Anas bin Malik, Abu Ayyub
al-Anshariy, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah. Diantara tokoh yang terkenal
mengembangkan qira’atnya adalah Al-Bazi dan Qunbul.
2.
Nafi’ bin Abd al-Rahman bin Abu
Na’im[3],
dari Madinah ( wafat 169 H ). Tokoh ini belajar qira’at kepada 70 orang
tabi’in. Dan para tabi’in yang menjadi gurunya itu belajar kepada Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan
Abu Hurairah. Diantara tokoh yang meriwayatkan qira’at Nafi’ ini adalah Qalun (
120-220 H ) dan Ibnu Zakwan ( 242 H ).
3.
Abdullah al-Yashibi, yang terkenal
dengan sebutan Abu ‘Amir al-Dimasyqiy dari Syam, ( wafat 118 H ). Beliau
mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah al-Mahzumiy, dari Utsman bin
Affan. Tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah Nu’man bin
Basyir dan Wa’ilah bin al-Asyqo’. Sebagaian riwayat menyatakan bahwa Abdullah
al-Yahshibiy sempat berjumpa dengan Utsman bin Affan langsung.
4.
Abu Amar dan Ya’kub. Kedua tokoh
ini berasal dari Bashrah, Irak. Nama lengkap Abu Amar adalah Zabban bin al-‘Ala bin ‘Ammar, ( wafat
154 H ). Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair yang
mengambil qira’at dari Abdullah bin Abbas dan ‘Ubai bin Ka’ab.
5.
Sedangkan Ya’kub bernama lengkap
Ibnu Ishak al-Hadramiy, ( wafat205 H ). Ya’kub belajar qira’at pada Salam bin
Sulaiman al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6.
Hamzah. Nama lengkap Hamzah adalah
Ibnu Habib al-Zayyat, ( wafat tahun 188 H ). Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman
bin Mahram al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Zar bin Hubaisy, dari
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.
7.
Adapun nama lengkap ‘Ashim adalah
Ibnu Abi al-Najud al-Asadiy, ( wafat 127 H ). Ia belajar qira’at pada Zar bin
Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ud.
Ketika Ibnu
Mujahid menghimpun qira’at-qira’at mereka yang disebut diatas, ia meniadakan
nama Ya’kub yang berasal dari Basrah untuk kemudian posisinya digantikan dengan
Al-Kasa’I ( wafat 182 H ). Penggeseran ini memberi kesan seolah-olah Ibnu
Mujahid mengannggap cukup qari’ Bashrah diwakili oleh Abu Amr. Sementara itu,
Ibnu Mujahid menetapkan tiga nama untuk Kufah. Mereka adalah Hamzah, ‘Ashim dan
Al-Kasa’i.
Bila hanya
tujuh tokoh diatas yang diturunkan Ibnu Mujahid, maka tidaklah berarti hanya
ulama-ulama itu yang menguasai qira’at. Masih ada tokoh-tokoh lain yang
sebetulnya menguasai qira’at. Misalnya Khalaf bin Hisyam dan Yazid bin Qa’qa’.
Ketujuh tokoh itu dipilih Ibnu Mujahid dengan pertimbangan “ Merekalah yang
paling terkemuka, paling masyhur, bacaannnya bagus, memiliki kedalaman ilmu dan
panjang umurnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, bahwa merekalah yang
dijadikan imam qira’at masyarakat mereka masing-masing”.[4]
Kemasyhuran
ketujuh tokoh qira’at di atas semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus
membukukan qira’at-qira’at mereka. Walaupun sesungguhnya, diluar yang tujuh itu,
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, sedikitnya masih ada tiga tokoh lain
yang qira’atnya memenuhi persyaratan, sehingga wajib diterima. Karena itu,
dikenal pula kemudian Qira’at al ‘Asyr ( Qira’at Sepuluh ), dan bahkan Qira’at
al-Arba’ ‘Asyarah ( Qira’at Empatbelas ).
Adapun yang
dimaksud Qira’at Sepuluh adalah qira’at tokoh-tokoh yang ditetapkan Ibnu
Mujahid ditambah dengan:
1.
Qira’at Ya’kub al-Basri ( tokoh
yang namanya digeser oleh Ibnu Mujahid untuk digantikan dengan Al-Kasa’i,
seperti disinggung diatas ). Wafat di Basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula
pada 185 H. dua orang perawinya adalah Ruwais[5]
dan Rauh[6].
2.
Qira’at Khalaf bin Hisyam ( Wafat
229 H ) tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Tokoh
yang disebut terakhir ini belajar qira’at pada Salim bin Isa bin Hamzah bin
Habib al-Zayyat. Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris.
3.
Qira’at Yazid bin al-Qa’qa’ yang
masyhur dengan sebutan Abu Ja’far ( wafat 132 H ). Yazid mengambil qira’at dari
Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, dari Ubai bin Ka’ab.
Kemudian, yang
dimaksud dengan Qira’at Empat Belas adalah sepuluh qira’at yang telah
disebutkan ditambah dengan qira’at empat tokoh lainnya. Mereka adalah:
1.
Hasan al-Bishriy, yang populer
itu, ( wafat 110 H ). Maula ( mantan sahaya ) kaum Ansar dan salah seorang
tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.
2.
Muhammad bin Abdu al-Rahman, yang
masyhur dengan sebutan Ibnu Muhaishan, ( wafat 123 H ).[7]
3.
Yahya bin al-Mubarak al-Yazidiy [8](
wafat 202 H )
4.
Abu al-Faraj Muhammad bin Ahmad
al-Syanbudziy ( wafat 388 H ).
Imam-imam itu
bangkit untuk menyusun kitab dalam maslah qira’at. Yang mula-mula mengumpulkan
qira’at dalam suatu kitab ialah Abi Abdul Qasim bin Salam. Meninggal pada tahun 224 H. Qira’at itu
dijadikan contoh dari dua puluh lima
qira’at. Sudah itu berturut-turut imam-imam mengumpulkan sejumlah qira’at dalam
beberapa buah kitab. Ada
yang mengumpulkan dua puluh qira’at, ada yang lebih dan ada pula yang kurang.
Masalah ini sampai ketangan Ibnu Abbas bin Mujahid. Dia meringkas tujuh qira’at
untuk qira’at tujuh (Ibrahim Al-Abyadi, 1992: 86)
Berkata as-Suyuti: “ orang pertama yang
menyusun kitab tentang qiraat adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian
Ahmad bin Jubair al-Kufi. Kemudian Isma’il bin Ishaq al- Maliki murid Qalun,
kemudian Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari, selanjutnya Abu Bakar Muhammad bin
Ahmad bin Umar ad-Dajuni, kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa
Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampillah para ahli yang menyunsun buku
mengenai berbagai macam qiraat. Baik yang mencakup semua qiraat maupun tidak,
secara singkat maupun panjang lebar ( Manna Khalil Al-Qattan, 2009: 250)
Secara
historis, ilmu qira’ah telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Meskipun belum
dibukukan secara baku
seperti pada abad tiga hijriah. Pada masa itu, qira’ah terbatas pada para
sahabat yang menekuni bacaan ( qira’ah ) Al-qur’an, mengajarkan, dan
mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui ayat-ayat yang diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Saw., kemudian segera menghafalkannya. Bahkan,
terkadang mereka membaca ayat-ayat itu dihadapan Nabi Saw. Agar disimak oleh
beliau. (Ahmad Izzan, 2009:205)
Untuk
memberikan kemudahan, Rasulullah Saw membolehkan membaca Al-qur’an sesuai
dengan lahjah atau dialeg yang dia kuasai. Akan tetapi, semua ini harus
berdasarkan atas petunjuk Nabi. Dengan demikian, orang zaman sekarang tidak
boleh membaca Al-qur’an sesuai dengan kehendaknya, kecuali jika dia tidak mampu
membaca lafal tertentu. Misalnya, disebabkan oleh halangan pada lidah atau gigi
yang tidak bisa diubah ( Kadar M Yusuf, 2009:47 )
Membaca Al-qur’an
dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan para imam qari’ yang diterima dari Nabi Saw, mestilah melalui musyafahah. Artinya, walaupun secara
teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku – buku yang dia
pelajari, namun dia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku
tersebut. Jadi, seseorang hanya boleh membaca Al-qur’an dengan menggunakan
qira’at yang dia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah.
Karena bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran dan musyafahah ( Kadar M Yusuf, 2009:47 )
D. Syarat-Syarat
Qira’at Sahih
Suatu bacaan
dianggap shahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi empat syarat, yaitu sebagai
berikut :
1.
Bacaan itu sesuai dengan salah
satu mushaf Usmani, jangan bertentangan dengannya.
2. Diterima dan sampai kepada kita secara mutawatir. Ini menurut
para ahli usul, muhadditsin, dan mazahib al-Arba’ah. Menurut imam
lainnya, qira’at yang tidak mutawatir tetapi sahih boleh diikuti.
3.
Sesuai dengan bahasa Arab.
Artinya, jangan bacaan itu bertentangan dengan kaidah bahasa Arab.
Qira’at-qira’at yang sekalipun sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi tidak
diriwayatkan melalui sanad yang sahih, dianggap tidak absah, karenanya ditolak.
Sebaliknya, tak ada sedikit qira’at yang oleh ahli Ilmu Nahwu tidak dibenarkan,
tetapi dianggap sahih karena mempunyai sanad yang sahih.
Apabila suatu qira’at telah memenuhi ketiga syarat
diatas maka qira’at itu dianggap benar atau sahih dan boleh diikuti bahkan
tidak boleh diingkari. Akan tetapi, jika ada di antara syarat ini yang kurang
maka qira’atnya dianggap tidak sahih dan tidak boleh diikuti. ( Kadar M. yusuf,
2009:51 ).
[1] Lihat :
Kamaluddin Marzuki. ‘Ulum Al-Qur’an. 1992, hlm 104.
[2]
Nama lengkapnya adalah Imam Haramillah Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir bin
Muthallib. Dia lahir pada tahun 45 H. didalam buku karangan Kadar M. Yusuf,
Studi Al-Qur’an, hlm 53. Nama Abdullah bin Katsir al-Dariy ditulis dengan Ibnu
Katsir. Tetapi yang dimaksud bukanlah Ibnu Katsir pengarang Tafsir Ibnu Katsir melainkan sebagai
tokoh dan imam qira’at.
[3]
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwayn Nafi’ bin Abdurrahman bin Abi Nu’aim
Al-Laysi. Dia juga digelari dengan Imam Harami Rasulillah. Terdapat
perbedaan para ulama dalam mencatat nama tokoh ini. Muhasyin menyebut nama
tokoh itu Nafi’ Al-Madani. Akan tetapi, Ibnu Abi Maryam menyebutnya dengan Abu
Abdurrahman Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim. Lihat Kadar M. yusuf. Studi Al-Qur’an, hlm 54.
[4] Lihat
Dirasat Fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal 98 )
[5]
Ruwais adalah abu ‘Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al-Lu’lu’I al-Basri. Ruwais
adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
[6] Rauh
adalah Abul Hasan Rauh bin ‘Abdul Mu’min al-Basri an-Nahwi. Ia wafat pada 234
H. atau 235 H.
[7] Beliau
adalah syaikh, guru Abu ‘Amr.
[8] Ia
mengambil qira’at dari Abu ‘Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru
ad-Dauri dan as-Susi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar