Minggu, 12 Februari 2012

Study Al-Qur'an : Tilawah Al-Qur'an


A.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qiraat adalah jamak dari qira’ah, yang berarti “ bacaan “, dan ia adalah masdar ( verbal Noun ) dari qara’a. menurut istilah ilmiah, qiraat adalah satu mazhab ( aliran )pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. (Manna’ Khalil al-Qattan, 2009:247)
Sedangkan secara terminologis, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Menurut Imam az-Zarkasyi misalnya, mengemukakan sebagai berikut: “ Qira’at yaitu: perbedaan lafal-lafal al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif,tasydid, dan lain-lain. Dalam hal ini, qira’ah harus melalui talaqqi dan musyafahah ( diterima langsung ) karena didalam qira’ah banyak hal yang tidak bisa dibaca, kecuali dengan mendengar langsung dari seorang guru dan bertatap muka.( Hasanuddin AF,1995:112).
Dari sisi istilah, az-Zarqani memberikan pengertian qira’ah yaitu sebagai mazhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca Al-qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-qur’an, serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun lafaznya.(Ahmad Izzan, 2009:202)
Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata ( kalimat ) Alquran, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya (Yusuf, Kadar M, 2009:46).
           Ada sementara ulama’ yang mengaitkan  definisi qira’at dengan mazhab atau imam qira’at tertentu selaku pakar qira’at yang bersangkutan, dan atau yang mengembangkan serta yang mempopulerkannya. Misalnya Muhammad Ali al- Shabuni, mengemukakan definisi sebagai berikut: “ Qira’at yaitu, suatu madzab tertentu dalam cara pengucapan al-Quran, dianut oleh salah seorang imam qira’at yang berbeda dengan mazhab lainnya, berdasarkan sanad-sanad-nya  yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW ( Hasanuddin AF, 1995: 114 ).
            Abduh Zulfidar Akaha menuturkan bahwa qira’ah adalah bacaan yang disandarkan kepada salah satu seorang imam Qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas, seperti qira’ah Nafi’ dan Ibnu Katsir ( Ahmad Izzan, 2009:202 ).

B.     Tokoh-Tokoh Qira’at Al-Qur’an
Penulisan mushaf telah dilakukan dengan bahasa Quraysy, atas perintah ‘Utsman kepada Zayd bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sa’ad bin ‘Ash dan ‘Abdu rrahman bin Harits bin Hisyam. Ketika mereka menyalin mushaf itu, ‘Utsman berkata : apabila terjadi perselisihan antara kamu dan Zayd bin Tsabit, maka tulislah mushaf itu dengan bahasa Quraysy, sebab Al- Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraysy.
Kemudian ‘Utsman mengirimkan beberapa mushaf ke daerah-daerah, dan mulailah setiap penduduk daerah membaca sesuai dengan apa yang tertulis dalam mushaf. Mereka menerima bacaan dari para sahabat yang langsung menerima dari Rasulullah SAW, kemudian mereka melanjutkan sebagaimana dilakukan para sahabat yang menerima langsung dari Rasulullah SAW.
Penduduk di daerah-daerah telah bersepakat untuk menerima bacaan para imam dan menyebarluaskannya, sehingga tidak terjadi perbedaan bacaan ( Ibrahim, Al-Ibyari, 1995: 106 ).
Para sahabat mempunyai perhatian yang sangat serius terhadap qira’at Al-quran ini, demikian pula para tabi’in dan ulama setelah mereka. Di antara para sahabat yang terkenal sebagai guru qira’at adalah Usman, Ali, Ubay, Zaid bin Sabit, Abu Darda, dan Abu Musa Al-Asyari. Menurut Adz-Dzahabi, seperti yang dikutip oleh Al-Qaththan, segolongan besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubay. Diantara mereka adalah Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Sa’ib. Dari para tokoh qira’at sahabat inilah para tabi’in mempelajari qira’at Al-Qur’an, yang selanjutnya qira’at-qira’at tersebut disandarkan kepada mereka (Kadar M Yusuf, 2009:53).
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya,sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi kegenerasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkanlah ( dinisbahkanlah ) qiraat hingga sekarang ini. Para ahli qiraat tersebut dimedinah ialah: Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, kemudian Nafi’ bin Abdurrahman. Ahli qiraat di Mekkah ialah: Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al-A’raj. Di kufah ialah: ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-A’masy, kemudian Hamzah dan kemudian al-Kisa’i. Di Basrah ialah: Abdullah bin Abu Ishaq, Isa Ibn ‘Amr, Abu ‘Amr ‘Ala’, ‘Asim al-Jahdari dan Ya’qub al-Hadrami, dan di Syam ialah Abdullah bin ‘Amir, Isma’il bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al-Hadrami. (Manna Khalil Al-Qattan, 2009:248).
Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qira’at diseluruh dunia di antara nama-nama tersebut ialah Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn Kasir (Manna Khalil Al-Qattan, 2009: 248).

C.    Sejarah Qira’ah Al-Qur’an
Dahulu pada  dasawarsa pertama Abad IV Hijrah, seorang ulama dari Baghdad pernah dikecam. Ia dipandang telah menyebarkan persoalan dengan meresahkan orang-orang yang berpandangan picik bahwa qira’at ini adalah tujuh huruf yang disebut dalam al-Hadits. Ia telah mengakibatkan kerancauan pemahaman orang banyak terhadap pengertian “ tujuh kata “ yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.Abu Bakar Ahmad, alias Ibnu Mujahid, demikian nama ulama yang dituduh itu, beliau dituduh melahirkan sesuatu yang baru dan telah menyebabkan orang-orang menjadi sesat. Sebab apa yang ia lakukan waktu itu hanyalah mengoleksi qira’at-qira’at para Imam terkemuka. Secara tidak sengaja melahirkan tuduhan tadi dan seorang yang dengan  “ pedas “ telah mencapnya sebagai “ si pembikin tujuh “ itu adalah  Abu al-Abbas bin Amar yang pada awal abad V Hijrah tersohor sebagai “ Imam Muqri “ istilah qira’at sab’ah di zaman Abu al-Abbas.
Istilah qira’at sab’ah di zaman Abu al-Abbas memang belum populer. Tetapi tidak berarti tidak ada. Qira’at ini sesungguhnya telah akrab didunia akademis sejak Abad II Hijrah. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qira’at itu karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya mengambil sekaligus memasyarakatkan satu jenis qira’at saja. Sementara qira’at-qira’at lainnya, kalau tidak dianggap tidak benar ditinggalkan dan tidak ditoleh. Apa yang dilakukan Ibnu Mujahid adalah sebagai terobosan baru didunia qira’at. Seperti yang sering terjadi, terobosan-terobosan baru yang pertama kali menginventarisasi tujuh bacaan tokoh-tokoh yang mempunyai sanad bersambung langsung kepada Sahabat Rasulullah saw, terkemuka. Mereka adalah[1]:
1.      Abdullah bin Katsir al-Dariy[2] dari Makkah ( wafat 120 H ). Al-Dary termasuk generasi tabi’in. Qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang sempat ditemui Al- Dariy diataranya Anas bin Malik, Abu Ayyub al-Anshariy, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah. Diantara tokoh yang terkenal mengembangkan qira’atnya adalah Al-Bazi dan Qunbul.
2.      Nafi’ bin Abd al-Rahman bin Abu Na’im[3], dari Madinah ( wafat 169 H ). Tokoh ini belajar qira’at kepada 70 orang tabi’in. Dan para tabi’in yang menjadi gurunya itu belajar  kepada Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah. Diantara tokoh yang meriwayatkan qira’at Nafi’ ini adalah Qalun ( 120-220 H )  dan Ibnu Zakwan ( 242 H ).
3.      Abdullah al-Yashibi, yang terkenal dengan sebutan Abu ‘Amir al-Dimasyqiy dari Syam, ( wafat 118 H ). Beliau mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah al-Mahzumiy, dari Utsman bin Affan. Tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin al-Asyqo’. Sebagaian riwayat menyatakan bahwa Abdullah al-Yahshibiy sempat berjumpa dengan Utsman bin Affan langsung.
4.      Abu Amar dan Ya’kub. Kedua tokoh ini berasal dari Bashrah, Irak. Nama lengkap Abu Amar adalah Zabban bin al-‘Ala bin ‘Ammar, ( wafat 154 H ). Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair yang mengambil qira’at dari Abdullah bin Abbas dan ‘Ubai bin Ka’ab.
5.      Sedangkan Ya’kub bernama lengkap Ibnu Ishak al-Hadramiy, ( wafat205 H ). Ya’kub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6.      Hamzah. Nama lengkap Hamzah adalah Ibnu Habib al-Zayyat, ( wafat tahun 188 H ). Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Zar bin Hubaisy, dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.
7.      Adapun nama lengkap ‘Ashim adalah Ibnu Abi al-Najud al-Asadiy, ( wafat 127 H ). Ia belajar qira’at pada Zar bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ud.
Ketika Ibnu Mujahid menghimpun qira’at-qira’at mereka yang disebut diatas, ia meniadakan nama Ya’kub yang berasal dari Basrah untuk kemudian posisinya digantikan dengan Al-Kasa’I ( wafat 182 H ). Penggeseran ini memberi kesan seolah-olah Ibnu Mujahid mengannggap cukup qari’ Bashrah diwakili oleh Abu Amr. Sementara itu, Ibnu Mujahid menetapkan tiga nama untuk Kufah. Mereka adalah Hamzah, ‘Ashim dan Al-Kasa’i.
Bila hanya tujuh tokoh diatas yang diturunkan Ibnu Mujahid, maka tidaklah berarti hanya ulama-ulama itu yang menguasai qira’at. Masih ada tokoh-tokoh lain yang sebetulnya menguasai qira’at. Misalnya Khalaf bin Hisyam dan Yazid bin Qa’qa’. Ketujuh tokoh itu dipilih Ibnu Mujahid dengan pertimbangan “ Merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur, bacaannnya bagus, memiliki kedalaman ilmu dan panjang umurnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, bahwa merekalah yang dijadikan imam qira’at masyarakat mereka masing-masing”.[4]
Kemasyhuran ketujuh tokoh qira’at di atas semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membukukan qira’at-qira’at mereka. Walaupun sesungguhnya, diluar yang tujuh itu, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, sedikitnya masih ada tiga tokoh lain yang qira’atnya memenuhi persyaratan, sehingga wajib diterima. Karena itu, dikenal pula kemudian Qira’at al ‘Asyr ( Qira’at Sepuluh ), dan bahkan Qira’at al-Arba’ ‘Asyarah ( Qira’at Empatbelas ).
Adapun yang dimaksud Qira’at Sepuluh adalah qira’at tokoh-tokoh yang ditetapkan Ibnu Mujahid ditambah dengan:
1.      Qira’at Ya’kub al-Basri ( tokoh yang namanya digeser oleh Ibnu Mujahid untuk digantikan dengan Al-Kasa’i, seperti disinggung diatas ). Wafat di Basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula pada 185 H. dua orang perawinya adalah Ruwais[5] dan Rauh[6].
2.      Qira’at Khalaf bin Hisyam ( Wafat 229 H ) tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Tokoh yang disebut terakhir ini belajar qira’at pada Salim bin Isa bin Hamzah bin Habib al-Zayyat. Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris.
3.      Qira’at Yazid bin al-Qa’qa’ yang masyhur dengan sebutan Abu Ja’far ( wafat 132 H ). Yazid mengambil qira’at dari Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, dari Ubai bin Ka’ab.
Kemudian, yang dimaksud dengan Qira’at Empat Belas adalah sepuluh qira’at yang telah disebutkan ditambah dengan qira’at empat tokoh lainnya. Mereka adalah:
1.      Hasan al-Bishriy, yang populer itu, ( wafat 110 H ). Maula ( mantan sahaya ) kaum Ansar dan salah seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.
2.      Muhammad bin Abdu al-Rahman, yang masyhur dengan sebutan Ibnu Muhaishan, ( wafat 123 H ).[7]
3.      Yahya bin al-Mubarak al-Yazidiy [8]( wafat 202 H )
4.      Abu al-Faraj Muhammad bin Ahmad al-Syanbudziy ( wafat 388 H ).
Imam-imam itu bangkit untuk menyusun kitab dalam maslah qira’at. Yang mula-mula mengumpulkan qira’at dalam suatu kitab ialah Abi Abdul Qasim bin  Salam. Meninggal pada tahun 224 H. Qira’at itu dijadikan contoh dari dua puluh lima qira’at. Sudah itu berturut-turut imam-imam mengumpulkan sejumlah qira’at dalam beberapa buah kitab. Ada yang mengumpulkan dua puluh qira’at, ada yang lebih dan ada pula yang kurang. Masalah ini sampai ketangan Ibnu Abbas bin Mujahid. Dia meringkas tujuh qira’at untuk qira’at tujuh (Ibrahim Al-Abyadi, 1992: 86)
 Berkata as-Suyuti: “ orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al-Kufi. Kemudian Isma’il bin Ishaq al- Maliki murid Qalun, kemudian Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari, selanjutnya Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad-Dajuni, kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampillah para ahli yang menyunsun buku mengenai berbagai macam qiraat. Baik yang mencakup semua qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar ( Manna Khalil Al-Qattan, 2009: 250)
Secara historis, ilmu qira’ah telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Meskipun belum dibukukan secara baku seperti pada abad tiga hijriah. Pada masa itu, qira’ah terbatas pada para sahabat yang menekuni bacaan ( qira’ah ) Al-qur’an, mengajarkan, dan mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Saw., kemudian segera menghafalkannya. Bahkan, terkadang mereka membaca ayat-ayat itu dihadapan Nabi Saw. Agar disimak oleh beliau.  (Ahmad Izzan, 2009:205)
Untuk memberikan kemudahan, Rasulullah Saw membolehkan membaca Al-qur’an sesuai dengan lahjah atau dialeg yang dia kuasai. Akan tetapi, semua ini harus berdasarkan atas petunjuk Nabi. Dengan demikian, orang zaman sekarang tidak boleh membaca Al-qur’an sesuai dengan kehendaknya, kecuali jika dia tidak mampu membaca lafal tertentu. Misalnya, disebabkan oleh halangan pada lidah atau gigi yang tidak bisa diubah ( Kadar M Yusuf, 2009:47 )
Membaca Al-qur’an dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan para imam qari’ yang  diterima dari Nabi Saw, mestilah melalui musyafahah. Artinya, walaupun secara teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku – buku yang dia pelajari, namun dia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi, seseorang hanya boleh membaca Al-qur’an dengan menggunakan qira’at yang dia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah. Karena bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran dan musyafahah ( Kadar M Yusuf, 2009:47 )

D.    Syarat-Syarat Qira’at Sahih
Suatu bacaan dianggap shahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi empat syarat, yaitu sebagai berikut :
1.      Bacaan itu sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, jangan bertentangan dengannya.
2.      Diterima dan sampai kepada kita secara mutawatir. Ini menurut para ahli usul, muhadditsin, dan mazahib al-Arba’ah. Menurut imam lainnya, qira’at yang tidak mutawatir tetapi sahih boleh diikuti.
3.      Sesuai dengan bahasa Arab. Artinya, jangan bacaan itu bertentangan dengan kaidah bahasa Arab. Qira’at-qira’at yang sekalipun sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi tidak diriwayatkan melalui sanad yang sahih, dianggap tidak absah, karenanya ditolak. Sebaliknya, tak ada sedikit qira’at yang oleh ahli Ilmu Nahwu tidak dibenarkan, tetapi dianggap sahih karena mempunyai sanad yang sahih.
 Apabila suatu qira’at telah memenuhi ketiga syarat diatas maka qira’at itu dianggap benar atau sahih dan boleh diikuti bahkan tidak boleh diingkari. Akan tetapi, jika ada di antara syarat ini yang kurang maka qira’atnya dianggap tidak sahih dan tidak boleh diikuti. ( Kadar M. yusuf, 2009:51 ).



[1] Lihat : Kamaluddin Marzuki. ‘Ulum Al-Qur’an. 1992, hlm 104.
[2] Nama lengkapnya adalah Imam Haramillah Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir bin Muthallib. Dia lahir pada tahun 45 H. didalam buku karangan Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, hlm 53. Nama Abdullah bin Katsir al-Dariy ditulis dengan Ibnu Katsir. Tetapi yang dimaksud bukanlah Ibnu Katsir pengarang Tafsir Ibnu Katsir melainkan sebagai tokoh dan imam qira’at.
[3] Nama lengkapnya adalah Abu Ruwayn Nafi’ bin Abdurrahman bin Abi Nu’aim Al-Laysi. Dia juga digelari dengan  Imam Harami Rasulillah. Terdapat perbedaan para ulama dalam mencatat nama tokoh ini. Muhasyin menyebut nama tokoh itu Nafi’ Al-Madani. Akan tetapi, Ibnu Abi Maryam menyebutnya dengan Abu Abdurrahman Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim. Lihat Kadar M. yusuf. Studi Al-Qur’an, hlm 54.
[4] Lihat Dirasat Fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal 98 )
[5] Ruwais adalah abu ‘Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al-Lu’lu’I al-Basri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
[6] Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin ‘Abdul Mu’min al-Basri an-Nahwi. Ia wafat pada 234 H. atau 235 H.
[7] Beliau adalah syaikh, guru Abu ‘Amr.
[8] Ia mengambil qira’at dari Abu ‘Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad-Dauri dan as-Susi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar