A.
Pengertian Perilaku Prososial
Sebelum
membahas mengenai pengertian perilaku sosial, perlu diketahui bahwa perilaku
prososial agaknya sama dengan altruisme.
Altruisme
adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk
menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun ( kecuali mungkin
perasaan telah melakukan kebaikan.[1]
Artinya Altruisme itu sendiri dapat didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong
orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.
Dari
definisi diatas, dikatakan tindakan altruistik atau tidak itu tergantung pada
tujuan sipenolong. Misalnya ada orang yang tidak dikenal yang mempertarukan
nyawanya sendiri untuk menolong korban dari mobil yang terbakar, dan kemudian
menghilang begitu saja, merupakan tindakan altruistik.
Untuk
pengertian Perilaku Prososial mencakup kategori yang lebih luas: meliputi
segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang
lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong.[2]
B.
Faktor-Faktor Yang Mendasari
Perilaku Prososial
Beberapa penilitian
psikologi sosial memperlihatkan bahwa perilaku prososial dipengaruhi oleh
karakteristik situasi, karakteristik penolong, dan karakteristik orang yang
membutuhkan pertolongan.
1. Situasi
Faktor
utama dan pertama, menurut penelitian psikologi sosial, yang berpengaruh pada
perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya orang lain yang kebetulan
berada bersama ditempat kejadian ( bystenders ). Semakin banyak orang lain,
semakin kecil kecenderungan orang untuk menolong. Sebaliknya, orang yang
sendirian cenderung lebih bersedia menolong.
Orang
yang paling altruis sekalipun cenderung tidak memberikan bantuan dalam situasi
tertentu. Penelitian yang telah dilakukan membuktikan makna penting beberapa
faktor situasional, yang meliputi kehadiran orang lain, sifat lingkungan,
fisik, dan tekanan keterbatasan waktu.
2. Kehadiran Orang
Lain
Sebuah
Hipotesis diajukan oleh Psikolog sosial Bibb Latane dan John Darley ( 1970 ).
Mereka mengemukakan bahwa kehadiran orang lain yang begitu banyak mungkin telah
menjadi alasan bagi tiadanya usaha untuk memberikan pertolongan. Misalnya
Orang-orang yang menyaksikan sebuah
tragedi pembunuhan disuatu tempat, mungkin menduga bahwa orang lain sudah
menghubungi polisi, sehingga kurang mempunyai tanggungjawab pribadi untuk turun
tangan.
Untuk
menguji gagasan bahwa jumlah saksi
mempengaruhi pemberian bantuan, Darley, dan latene ( 1968 ) merancang
penelitian laboraturium. Para mahasiswa yang mendengar adanya ” keadaan darurat
” lebih cenderung memberikan reaksi bila mereka sendirian ketimbang bila mereka
mempunyai anggapan bahwa orang lain juga mengetahui situasi tersebut. Semakin
banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan seseorang benar-benar
memberikan pertolongan, dan semakin besar rata-rata tentang waktu pemberian
bantuan. Darley menamakannya efek Penonton ( bystender Effect ).
3. Kondisi Lingkungan
Keadaan
fisik juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Kalau orang merasa mampu, ia
akan cenderung menolong, sedangkan kalau merasa tidak mampu ia tidak menolong.
Efek
cuaca terhadap pemberian bantuan diteliti dalam dua penelitian lapangan yang
dilakukan oleh Cunningham ( 1979 ). Dalam penelitian pertama, para pejalan kaki
dihampiri diluar rumah dan diminta untuk membantu peneliti dengan melengkapi
quisoner. Orang lebih cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu udara
cukup menyenangkan ( relatif hangat di musim dingin dan relatif sejuk di musim
panas ). Dalam penelitian kedua yang mengamati bahwa para pelanggan memberikan
tip yang lebih banyak bila hari cukup cerah. Penelitian yang lain menyatakn
bahwa orang lain cenderung menolong pengendara motor yang mogok dalam cuaca
cerah daipada dalam cuaca mendung. Singkatnya cuaca memang benar-benar
menimbulkan perbedaan pemberian bantuan, meskipun para pakar psikologi masih
memperdebatkan alasan yang tepat untuk efek ini.
4. Tekanan waktu
Biasanya orang-orang yang sibuk dan tergesa-gesa
cenderung untuk tidak menolong, sedangkan orang yang santai lebih besar
kemungkinannya untuk memberi pertolongan kepada yang memerlukannya. Darley
& Batson ( 1973 ) mengadakan percobaan dengan mahasiswa-mahasiswa Teologia
Universitas Princenton, Nj. Para mahasiswa itu dibagi dalam dua kelompok. Kedua
kelompok diberi kuliah tentang perilaku
menolong. Setelah kuliah, mereka diminta ke ruang lain untuk menyaksikan
pemutaran video. Pada kelompok 1 di beri tahu bahwa mereka harus cepat-cepat
karena mereka sudah terlambat,sedangkan pada kelompok 2 diberitahu bahwa mereka
masih mempunyai banyak waktu karena persiapan alat video. Ada seorang pria tua
terbatuk-batuk berat. Ternyata, hanya 10 % dari kelompok 1 yang menawarkan
bantuan, sementara dari kelompok 2, 2/3 diantaranya menawarkan bantuan kepada
pria tua itu.[3]
Dari penelitian diatas hasilnya sudah memperlihatkan
bahwa siswa yang tergesa-gesa mempunyai kecenderungan yang lebih kecil untuk
menolong dibanding mereka yang tidak mengalami tekanan waktu.
5. Kemampuan Yang
Dimiliki
Faktor
situasional dapat meningkatkan atau menurunkan kecenderungan orang untuk
melakukan tindakan proposial. Namun,
yang juga diperlihatkan penelitian-penelitian ini adalah bahwa beberapa orang tetap memberikan pertolongan
meskipun kekuatan situasional menghambat pemberian bantuan, dan yang lain tidak
memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik. Ada
perbedaan individual.
Kalau
orang merasa mampu, ia akan cenderung menolong sedangkan kalau merasa tidak
mampu ia tidak menolong. Di taiwan terdapat norma masyarakat yang mengharuskan
anak-anak yang sudah dewasa untuk mendukung
ekonomi orang tuanya yang sudah lanjut usia, tetapi hanya orang-orang yang
kemampuan ekonominya cukup yang melaksanakan ketentuan itu.[4]
Mengapa
ada perbedaan individual. Dalam usaha memahami mengapa ada orang yang lebih
mudah menolong dibandingkan orang lain, para peneliti menyelidiki karakteristik
keoribadian yang relatif menetap maupun suasana hati dan psikologis yang lebih
mudah berubah.
C. Cara
Meningkatkan Perilaku Prososial
Meningkatkan prilaku
menolong secara teoretis juga dapat diusahakan walau-pun dalam kenyataannya
belum ditemukan suatu cara yang paling ampuh.
Secara umum berbagai
upaya yang di kemukakan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu mengurangikendala
yang menghambat altruisme dan
memasyarakatkan altruisme itu
sendiri.
1. Mengurangi
kendala
Ada beberapa cara untuk mengurangi kendala yang
menghambat prilaku menolong.
a.
Mengurangi
keraguan atau ketidakjelasan (ambiguitas) dan meningkatkan tanggungjawab.
Misalnya,kalau di tokoh swalayan ada orang yang mencuri (ngutil) biasanya
pengunjung lain akan pura-pura tidak tahu karena ragu apakah orang mengutil
betul-betul atau pegawai yang sedang memeriksa barang-barang dan pengunjung
lain itupun tidak merasa ikut bertanggung jawab. Lain halnya ada orang
berteriak, “hei, orang itu mencuri!”, pengunjung lain akan segera breaksi
karena mereka tidak ragu-ragu lagi dan merasa terpicu untuk ikut bertanggungjawab.
b.
Peningkatan rasa
tanggung jawab dapat di pancing dengan
ajakan secara pribadi (foss,1978). Sewaktu penulisan sendiri aktif dalam
gerakan sukarelawan konsultasi lewat telepon (hotline service),baik untuk
remaja (1983-1986) maupun untuk penderita AIDS (1995-1996),sebagian sukarelawan
bersedia untuk berpatisipasi karena ajakan pribadi penulis. Ketika penulis dan
beberapa aktivis inti tidak lagi tidak terlibat dalam gerakan itu, sukarelawan
juga ikut menghilang. Cara lain adalah mempribadikan hubungan dengan cara
menyebut lawan bicara kita. Daripada kita panggil lawan bicara kita denga
bapak, ibu, atau saudara,lebih baik kita memanggilnya dengan Pak Sanusi, Ibu
Titi, atau Pak Kamso. Orang yang diajak terlibat secara pribadi cenderung lebih
menolong daripada yang sekadar di anggap sebagai orang lain saja (Solomon dkk,
1981) (Catatan: kasir bank atau petugas pasasir di Bandara dapat mengetahui
nama pelanggan atau penumpang setelah membaca namanya di kertas cek atau tiket dan
selanjutnya memanggil pelanggan atau penumpang dengan namanya. Di pihak lain,
banyak ibi-ibu yang mau meminta tolong kepada anaknya atau pembantunya tanpa
memanggil namanya, tetapi hanya menyebut “Hei” atau “Ssst”).
c.
Kendala pada
prilaku menolong dapat di turunkan dengan meningkatkan rasa bersalah. Caranya
adalah dengan mengingatkan seseorang tentang kesalahannya. Dengan demikian,
orang itu cenderung lebih mau menolong untuk menebus kesalahannya itu.
d.
Cara lain untuk
menurunkan kendala adalah dengan memanipulasi gengsi atau harga diri seseorang.
Kalau kita mau meminta sumbangan Rp.10.000,00 kita mengatakan dahulu bahwa kita
perlu sumbangan sebesar Rp 50.000,00. Orang yang di mintai sumbangan mungkin
akan berkata, “Ah, kalau uang sebanyak saya tidak punya” dan anda
menjawab,”kalau begitu berapa saja bolehlah, sekadarnya saja. Sepuluh ribu juga
tidak apa-apa”. Kemumgkinan juga orang itu akan menjawab, “kalau sepuluh ribu
si biarin deh, itung-itung sedekah”. Gengsi orang itu tertolong dengan adanya
sumbangan yang Rp 10.000,00, sehingga ia ikhlas menyumbang walaupun seandainya
ia langsung di mintai Rp 10.000,00ke mungkinan ia sudah menjawab tidak punya
juga.
2. Memasyarakatkan
altruisme
a. Mengajarkan
inklusi moral,yaitu adalah orang lain
golongan kita.
Inklusi moral meningkatkan prilaku
menolong (Fogelman, 1994). Di pihak lain perlu di upayakan menghindari eksklusi moral (dalam dialek betawi: elo-elo, gue-gue) karena eksklusi moral merupakan sumber diskriminasi,bahkan
member peluang saling membunuh (Staub, 1990; Opotou, 1990; Tyler & Lind,
1990). Selain itu, perlu juga di ajarkan altruisme
melalui model di keluarga (keluarga), sekolah (guru-guru) dan di kalangan
teman (Staub, 1998, 1991, 1992), atau lewat televisi (Hearold, 1986), Misalnya
film “lassie” (Spratkin, Liebert &Poulus, 1975) atau film “Mister Rogers”,
Neighborhood” dan “Sesame Street” (forge & Phemister, 1987) yang sudah
terbukti sangat berpengaruh pada prilaku menolong kepada anak- anak.
b. Memberikan
atribusi “menolong” pada prilaku altruis seorang
yang sudah membantu orang lain, kemudian di beri ucapan “terima kasih atas
pertolongan anda” merasa bahwa prilakunya betul-betul membantu orang lain
sehingga ia cenderung mengulanginya pada kesempatan lain. Kepuasan semacam ini
tidak terdapat prilaku menolong itu di beri imbalan uang (Batson dkk., 1978,
1979).
c. Member
pelajaran dengan altruisme
Orang yang tahu bahwa keberadaan orang
lain akan menghambat prilaku menolong akan tetap menolong walaupun di tempat
itu banyak orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak tahu akan berlalu begitu
saja (Beamen dkk., 1978).
[1]
Michael Adriyanto, Psikologi Sosial, Jilid V,Erlangga,1985, hlm 47
[2]
Michael Adriyanto, Psikologi Sosial, Jilid V,Erlangga,1985, hlm 47
[3]
Michael Adriyanto, Psikologi Sosial, Jilid V,Erlangga,1985, hlm 65
[4]
Sarlito Wirawan Sarwo. Psikologi Sosial.Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm
340-341.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar