A.
Pengertian
Pemilihan Umum
Pemilihan
Umum
(Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi
jabatan-jabatan politik
tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden,
wakil rakyat
di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan seperti ketua OSIS
atau ketua kelas,
walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu
merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak
memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,
public relations,
komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda
di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik
agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau
politikus selalu komunikator politik.[1]
Dalam
Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen,
dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan
program-programnya pada masa kampanye.
Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.
Setelah
pemungutan suara
dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan
main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan
disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Pemilihan
umum adalah sesuatu hal yang penting dalam kehidupan ke-negaraan. Pemilihan
umum adalah pengejawantahan system demokrasi. Melalui pemilihan umum, rakyat
memilih para wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur
pemerintahan. Ada Negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila
memilih wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen, namun adapula Negara yang juga
menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi Negara (
pangreh ).[2]
Umumnya,
yang berperan dalam pemilihan umum dan menjadi peserta pemilihan umum adalah
partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan
mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum itu.
Untuk
Indonesia, perlu disebut organisasi-organisasi social politik ( orsosopol ),
dan bukan sekedar partai-partai politik ( parpol )saja karena ada Golongan
Karya ( Golkar ) yang merupakan organisasi social politik, peserta pemilihan
umum, tetapi tidak disebut sebagai partai politik dan bukan sebagai partai
politik.
System
pemilihan umum berbeda-beda di berbagai Negara. Ada system pemilihan langsung
yakni bahwa rakyat memilih kepala Negara
secara langsung, dan ada pula system pemilihan melalui perwakilan yakni bahwa
rakyat memilih wakil-wakilnya yang kemudian memilih kepala Negara. System
kepartaian bebeda-beda pula. Ada system dwi partai ( two party system ), serta
ada yang hanya satu partai ( one party system ).
B.
Sistem
Pemilihan Umum
Semua
system politik dengan pemilihan, baik kompetitif maupun tidak, harus mempunyai
system pemilihan. Sebagian warga Negara, baik ia hidup di bawah pemerintahan
otoriter maupun demokrasi, dapat mengenali dengan benar system pemilihan yang sebetulnya
mempunyai pengaruh besar pada pilihan politik yang ada. System pemilihan disini
dibagi menjadi dua alternative pokok,[3]
yaitu :
1) Sistem
Pemilihan Sistem Distrik ( Single-Member Constituency,
single member district mayority system, district system )
Dalam
system pemilihan distrik, geografi politik Negara itu dibagi dalam beberapa
wilayah pemilih. Hanya satu wakil dapat dipilih dari setiap wilayah. Meski
suara rakyat dalam wilayah itu sangat terbagi-bagi dan banyak calon atau partai
yang mungkin terdapat di kartu suara, hanya satu calon atau partai yang bisa
menang memperoleh semuanya. Atau, lebih resmi lagi, inilah wilayah yang
beranggota tunggal, system pemilihan kemajemukan sederhana.
Dalam
pemilu yang menggunakan system distrik, daerah pemilihan dibagi atas
distrik-distrik tertentu. Pada masing-masing distrik pemilihan, tiap-tiap
parpol mengajukan satu calon. Katakanlah, 2 atau 3 kecamatan merupakan satu
distrik. Partai X mencalonkan A untuk bersaing pada distrik tersebut. Partai Y
mencalonkan B, dan partai Z mencalonkan C.[4]
A,B,
dan C yang mewakili partainya masing-masing, bersaing untuk memperoleh suara
terbanyak, pada distrik tersebut. Misalkan A meraih suara terbanyak, maka untuk
distrik itu A yang terpilih menjadi wakil rakyat ( anggota DPR ). Demikian pula
pada distrik-distrik lainnya, dengan calon yang berbeda ( bukan A, B dan C ).
Dalam
hal ini tidak ada nomor urut berdasarkan tanda gambar parpol tertentu. Para
calon dinilai secara perseorangan oleh para pemilih pada masing-masing distrik.
Tidak pula ada penjumlahan atau penggabungan nilai suara antara satu distrik
dengan distrik yang lain. Satu calon yang meraih suara terbanyak pada distrik
itu yang terpilih menjadi wakil rakyat. Jumlah kursi masing-masing parpol,
bergantung jumlah calon-calonnya yang terpilih.
2) Sistem
Pemilihan PR ( Proportional Representation
Electoral System )
Seperti
di dalam system pemilihan distrik geografi politik Negara dibagi menjadi
beberapa wilayah pemilih. Akan tetapi, dalam system pemilihan PR, setiap
wilayah memilih bebrapa wakil. Biasanya antara tuga sampai tujuh, menurut
banyaknya jumlah penduduk di wilayah itu. Pembagian wakil dalam setiap wilayah
sebanding banyaknya dengan distribusi jumlah suara rakyat di wilayah yang
bersangkutan. System pemilihan ini lazimnya dikenal sebagai system pemilihan
perwakilan sebanding, Proportional-representation.
System
ini yang dianut di Indonesia. Pemilih
tidaklah langsung memilih calon yang didukungnya, karena para calon ditentukan
berdasarkan nomor urut calon-calon dari masing-masing parpol atau organisasi
social politik ( orsospol ). [5]
Para
pemilih adalah memilih tanda gambar atau lambnag suatu orsospol. Perhitungan
suara untuk menentukan jumlah kursi raihan masing-masing orsospol, ditentukan
melalui penjumlahan suara secara nasional atau penjumlahan pada suatu daerah (
provinsi daerah tingkat satu ).
Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasar jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk di daerah yang bersangkutan.
Banyak
atau sedikitnya kursi yang diraih adalah digantungkan pada jumlah suara yang
diraih masing-masing parpol dan orsospol peserta pemilihan umum. Calon terpilih
untuk menjadi wakil rakyat ditentukan berdasarkan nomor urut calon yang disusun
guna mewakili orsospol pada masing-masing daerah. Inilah yang disebut
perhitungan suara secara proporsional, bukan menurut distrik pemilihan ( yang
tiap distrik hanya bakal ada satu calon terpilih ).
C.
Kelebihan
dan Kerugian atau Kelemahan Sistem Distrik Dan Sistem Proporsional.[6]
Dari
system pemilihan diatas, maka ada kelebihan tersendiri yaitu :
a) Kelebihan
atau keuntungan system distrik :
1. Para
pemilih benar-benar memilih calon yang disukainya, karena jelas siapa
calon-calon untuk distrik yang bersangkutan. Bukan memilih tanda gambar parpol,
tetapi langsung merujuk pada nama sang calon untuk distrik itu.
2. Calon
terpilih merasa terikat pada kewajibannya untuk memperjuangkan kepentingan
warga distrik pemilihan itu. Ia terpilih karena dukungan para pemilih
kepadanya. Bukan berdasar nomor urut dari hasil penjumlahan suara yang
diperoleh parpolnya.
b) Kekurangan
atau Kelemahan Sistem distrik :
1. Calon
terpilih kurang merasa terikat kepada kepentingan parpol yang mengajukannya
sebagai calon karena ia terpilih berdasarkan kemampuan pribadinya menarik
simpati rakyat ( walaupun factor kredibilitas dan reputasi parpol ikut membantu
keberhasilan calon tersebut ).
2. Cara
pemilihan seperti ini kurang memberi kesempatan bagi para calon dan bagi parpol
yang hanya didukung oleh kelompok minoritas. Kemungkinan tidak ada kursi bai
parpol kecil dan untuk mewakili kelompok minoritas, karena tidak ada
penjumlahan suara baik secara nasional
maupun daerah. Jumlah perolehan suara dihitung pada distrik yang bersangkutan
saja.
c) Kelebihan
atau Keuntungan system Proporsional :
1. Hasil
pemilihan melalui penjumlahan dan penjatahan proporsional memungkinkan
terwakilinya kepentingan kelompok minoritas.
2. Integritas
secara citra partai lebih “ solid ‘ karena para pemilih mendukung parpol atau
orsospol ( bukan mendukung pribadi calon ).
d) Kelemahan
atau Kerugian Sistem Proporsional :
1. Keterikatan
( komitmen ) para calon lebih terarah kepada partainya dibanding kepada public
pemilih, karena para pemilih bukan mendukung sang calon secara perorangan (
hanya memilih lambing atau tanda gambar parpol atau orsospol ).
2. Kecenderungan
membentuk partai-partai baru lebih besar, karena kemungkinan memperoleh kursi
melalui penjumalahan suara. ( untuk Indonesia pembentukan parpol baru tidak di
perbolehkan ).
[1]
Anwar
Arifin. Pencitraan dalam politik, Jakarta: pustaka Indonesia, 2006,
hal.39
[2] Teuku May rudy,
Pengantar Ilmu Politik, Bandung : PT Eresco, 1993, hal 63
[3] CC
Rode, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta : Rajawali Pers, 1993, hlm 267-268
[4]
Teuku May Rudy. Pengantar Ilmu Politik.Bandung : PT Eresco Bandung, 1993, Hlm,
64
[5]
Teuku May Rudy, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: PT Eresco, 1993, hlm 65
[6]
May Rudy Teuku, Pengantar ilmu Politik, bandung : PT Eresco, 1993, hlm 64-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar