- Kehidupan
Rasulullah dan Khulafaurrasyidin Dalam Menentukan Politik Hukum Islam
Rasulullah
SAW pada masa hidupnya adalah tempat kembali umat islam dalam mengatur urusan
kehidupan mereka secara integral, baik dalam bidang hukum, peradilan dan
operasionalnya. Undang-undang yang mengatur urusan ini adalah wahyu dan
petunjuk-Nya dalam berijtihad demi kemaslahatan, serta berdasarkan
pendapat-pendapat sahabat dalam kasus yang tidak ada dalilnya. Dasar yang
mengatur urusan ini adalah melihat kebutuhan umat dan menjalin kemaslahatan
kehidupan mereka.
Rasulullah
SAW meninggalkan kepada umatnya dua petunjuk, manusia tidak akan sesat apabila
menjadikannya sebagai petunjuk hidup yaitu al-qur’an maupun Hadis. Sedangkan
dasar yang ketiga dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak ada nash nya, baik
al-Qur’an dan Hadis adalah ijtihad sebagaimana metodologinya sudah dikenalkan
oleh Rasulullah SAW. Baik berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan. Hal ini
karena rasulullah SAW sering menyampaikan hukum dibarengi dengan sebab ( illah
) dan maslahah. Ini merupakan pengakuan Rasulullah SAW terhadap hukum dan
maslahah, sebab tujuan hukum islam adalah menarik kemanfa’atan dan menolak
kerusakan, seperti contoh sabda Rasulullah SAW tentang larangan menikah antara
wanita dan bibinya ” sesungguhnya bila
itu kamu lakukan berarti memutus kerabatmu ”. Dan sabdanya tentang
larangan menyimpan daging qurban yang
kemudian diperbolehkan ” saya melarang
kalian menyimpannya kecuali untuk menjamu tamu ”.
Contoh
peristiwa tersebut banyak sekali terlintas dalam hati umat islam, bahwa puncak
tujuan hukum islam adalah demi maslahah, apabila ada kemaslahatan, maka itulah
hukum Allah Swt. Dan bagi umat islam mempunyai peranan dalam merealisasi
maslahah tersebut, apabila dalam kasus tertentu tidak didapatkan nash, maka
diperbolehkan untuk berijtihad.
Semangat
ijtihad seperti ini pernah di tempuh oleh para sahabat khulafa al-Rasyidin
setelah Rasulullah wafat dalam mengatur urusan kepentingan masyarakat suatu pemerintahan, mereka
menjadikan hukum Allah SAW ( al-Qur’an ) sebagai struktur dan sistem pemerintahan
negara, begitu juga hadis. Apabila ada peristiwa yang tidak ada nashnya dalam
al-Qur’an dan Hadits, maka mereka berijtihad. Sedangkan mengikuti jalan ijtihad
adalah untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia dan tidak bertentangan dalam
kehidupan manusia selama tidak bertentanangan dalam kehidupan manusia dan tidak
bertentangan dengan spirit agama, sebab sebagaian ijtihad sahabat ada yang
kontradiksi dengan pemahaman dhahir nas. Seorang mujtahid tidak boleh dituduh
salah, dan metodenya tidak benar, selama tujuannya itu demi kemaslahatan dan
menegakkan keadilan hukum Allah SWT.
Sebab untuk merealisasi keadilan hukum Allah SWT tersebut adalah dengan jalan
berijtihad.
Abu
bakar pernah berijtihad dan mengangkat Umar sebagai pemimipin umat islam.
Begitu juga Umar berijtihad waktu itu tidak ada seorang pun yang mengganti
sebagai pemimipin, dan meninggalkan urusan yang sebenarnya harus
dimusyawarahkan antara enam sahabat. Ijtihad Abu Bakar dan Umar itu bukan
berarti ijtihad sahabat lain. Ijtihad Abu Bakar dan Umar dalam kasus tersebut
tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw, sebab Rasulullah tidak pernah menentukan figur seorang pemimipin,
sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar, dan tidak meninggalkan asas
bermusyawarah dengan enam sahabat, sebagaimana yang dilakukan Umar. Dan tuduhan
terhadap salah satu darinya bahwa bahwa ijtihadnya itu bertentangan dengan
hukum Allah adalah karena ijtihad itu bertujuan untuk kemaslahatan dan ijtihad
dengan batas kemampuan maksimal.
Umar
berijtihad dan menentukan talaq tiga kepada suami yang menjatuhkan talaq tiga
dengan satu ucapan sebagaimana firman Allah SWT.
”
Talaq ( yang dapat dirujuki ) dua kali. ( al-Baqoroh: 229 )
Bagi
Umar ayat ini tidak samar lagi, karena talaq tiga kali pada masa Rasulullah,
Abu Bakar dan permulaan Khalifah Umar adalah dianggap talaq satu. Pada masa
Rasulullah ada seseorang laki-laki menjatuhkan talaq pada isterinya kemudian
berita itu sampai pada Rasulullah maka beliau bersabda ” Apakah dia main-main dengan kitab Allah sedangkan saya masih ada
dihadapan kalian ”. Bagi umar tidak samar lagi tentang hadits ini. Akan
tetapi, Umar melihat mayoritas manusia main-main dalam hal talaq, sehingga Umar
menetapkan kepada kepada mereka dengan ketetapan Rasulullah tersebut, untuk
menghindari permainan manusia dalam masalah talaq. Inilah yang dimaksud dengan
komentar Umar ” Sesungguhnya manusia telah bergegas dalam melakukan sesuatu,
padahal mereka melakukan hal itu perlahan-lahan, meskipun kita mmelakukannya
atas mereka.” maka Umar melakukannya. Oleh karena itu Ibn Taimiyyah
berkomentar: ” sesungguhnya politik Umar menetapkan talaq tiga dengan satu
ucapan, dan Umar menutup pintu kebolehan ( tahlil ), tentu umpama diketahui
bahwa manusia mengikuti kebolehan ( tahlil ), tentu Umar berpendapat bahwa
pengakuan mereka pada masa Rasulullah, Abu bakar dan permulaan khalifah Umar
itu lebih Utama.[1]
Begitu
juga dalam masalah peradilan dan metodologi hukum, para sahabat dalam
menghadapi setiap dalil didasarkan atas kemampuan hati yang efektif, petunjuk
keadilan dan kebenaran, mereka tidak melihat terhadap dalil tertentu yang
membutuhkan keterangan saksi atau pengakuan.
Para
sahabat dalam melaksanakan hukum melihat asas kemaslahatan situasi dan kondisi
manusia, seperti Umar tidak memotong tangan seorang pencuri pada musim sulit
makanan dan tidak membagikan zakat kepada golongan muallaf. Inilah
kebijaksanaan yang ditempuh pemimpin islam pertama kali dalam merealisasikan
hukum islam,peradilan, dan aplikasinya dalam mengatur urusan pemerintahan,
sehingga hukum islam tidak sempit sebab timbulnya peristiwa baru, dan adanya
kebutuhan yang mendesak serta tidak sempit dalam merealisasi kemaslahatan dalam
perubahan zaman. Dengan menempuh jalan seperti itu manusia tidak akan mengklaim
bahwa hukum islam itu statis. Isu tersebut tidak dikenal dalam hukum islam atau
politik hukum islam. Akan tetapi, semua hukum Allah itu bersumber dari
al-qur’an dan hadits serta ijtihad dan ulama yang mengutamakan asas
kemaslahatan dengan mencurahkan otoritas
intelektual dalam ijtihad, sebab Allah tidak menciptakan hukum islam
kecuali demi kemaslahatan bagi hamba-Nya.
Para
mujtahid dalam situasi dan kondisi tertentu merasa kesulitan adanya batasan dan
kesempitan metodologi yang mereka ciptakan demi kemaslahatan manusia, mereka
mencoba menghindar dari kesempitan tersebut dengan menciptakan istihsan, seperti contoh akad muzara’ah . akan tetapi, menurut kaidah
ijtihad bahwa muzara’ah itu akad yang
batal tetapi mereka berpendapat bahwa itu merupakan kebutuhan yang mendesak (
darurat ) demi kemaslahatan manusia, mereka memperbolehkan akad muzara’ah
dengar dasar istihsan. Dan istihsan termasuk bagian ijtihad yang
ditempuh oleh ulama salaf.
Karena
adanya upaya mengesampingkan maslahah
al-mursalah[2]
dalam hukum islam dan meninggalkan aturan dalam peradilan dan metode khusus
untuk mencapai suatu kebenaran dan aplikasinya, maka muncullah fiqh islam yang
mengatur urusan pemerintahan karena keterbatasan sisitem dalam merealisasi
kemaslahatan manusia yang relevan pada perkembangan zaman. Maka para pakar
politik hukum dan lembaga eksekutif mencoba mengaktualisasikan asas
kemaslahatan bagi kehidupan manusia dan mengatur pemerintahan itu mengacu
kepada sistem dan undang-undang formal yang tidak ditetapkan oleh para ulama’
ahli ijtihad. Dan mayoritas mereka menghendaki metode formal dan undang-undang
pidana, karena mereka mempunyai tujuan mementingkan stabilitas dan menghukum
para pakar pelaku kriminal. Dengan demikian, kita harus mengambil dan berpegang
pada realita yang ada dan menghindar
dari keterikatan metode ulama fiqh. Berangkat dari fenomena tersebut, maka umat
islam berpendapat bahwa sistem hukum itu ada dua macam:
a.
Produk hukum yang
dihasilkan oleh mujtahid fiqh berdasarkan atas metodologi yang mereka ciptakan
b.
Kebijaksanaan para pakar
politik dalam merealisasi kemaslahatan dalam menghadapi perkembangan zaman. Macam
yang kedua ini menurut situasi dan kondisi para ahli tersebut, kadang-kadang
berkisar pada batasan untuk merealisasi kemaslahatan yang tidak menyimpang dari
batasan dan dasar-dasarnya secara totalitas, dan juga kadang-kadang
mengutamakan tujuan dan kemaslahatan yang bersifat tidak lengkap.
Ibn al-Qayyim mengutip dalam kitabnya ”
al-turuq al-hukmiyyah ” dari Ibn Aqli dia berkomentar: politik hukum islam itu
sebagai sarana bagi umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan
menghindar dari kerusakan, meskipun sistem ini tidak pernah diletakkan
Rasulullah SAW. Dan tidak ada wahyu yang turun karena nya. Barangsiapa yang
menganggap tidak ada politik kecuali yang sudah ditetapkan oleh hukum islam,
maka persepsi itu salah dan tentu menyalahkan sahabat, sebab seperti yang
pernah dialami oleh khulafa’ al-Rasyidin yang tidak diingkari oleh para ulama
ahli hadits yaitu kasus pembakaran yang dilakukan sahabat Ali terhadap golongan
zindiq dan pembakaran mushaf yang dilakukan oleh sahabat Usman.[3]
Ibn
al-Qayyim berkomentar dalam kitabnya: ” al-Turuq al-Hukmiyyah ”. Inilah tempat
kesalahan dan pemahaman yang menyesatkan dan sangat dangkal, ada kelompok yang
melangar batas-batas, menyia-nyiakan hak dan menjerumuskan kerusakan serta
menjadikan hukum islam menjadi sempit dan tidak di tegakkan demi kemaslahatan manusia. Mereka menutup
jalan yang benar atas diri mereka dalam mengetahui kebenaran dan aplikasinya.
Mereka mengosongkan ilmunya dan mereka tidak mempunyai persepsi sesuai realita.
Ketika para pemimpin melihat masalah tersebut bahwa manusia tidak akan menjadi
lurus urusannya kecuali dengan perintah yang berangkat dari ketetapan politik.
Maka berangkat dari pemahaman tersebut ternyata mereka krisis tentang syari’ah,
krisis politik dan muncul kerusakan yang berkepanjangan, sehingga masalahnya
sulit untuk dideteksi. Suasana alam semesta akan menjadi cemerlang dengan hukum
yang didasari jiwa yang murni dan terhindar dari kerusakan-kerusakan. Ada juga
golongan yang bersikap berlebihan, dimana golongan ini memanipulasi sebagaian
hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua golongan ini terlihat sangat dangkal
pemahamannnya terhadap ajaran wahyu yang diturunkan allah SWT kepada Rasul-Nya,
dan kitab yang diturunkan kepadanya, sebab Allah SWT mengutus Rasul dan
menurunkan kitab-Nya supaya manusia bersikap lurus dan adil yang tegak seperti
langit dan bumi. Apabila tanda-tanda keadilan nampak jelas, maka itulah hukum
Allah SWT dan esensi agama-Nya. Sebab Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha adil dalam menetapkan hukum menuju
jalan keadilan. Dan tidak menghapus perkara yang sudah jelas, bahkan Allah SWT
menjelaskan bahwa segala yang disyari’atkan itu bertujuan untuk menegakkan asas
keadilan kepada para hamba-Nya dan mendorong manusia berbuat adil. Apabila ada
jalan yang berasaskan keadilan, maka itulah agama Allah SWT. Oleh karena itu,
tidak bisa dikatakan bahwa politik yang adil itu kontradiksi dengan hukum Allah
SWT akan tetapi, politik yang adil itu relevan dengan islam. Bahkan itu bagian
darinya. Dan Abdul Wahhab Khallaf menyebut istilah politik, karena mengikuti
istilah yang berkembang diantara ulama, itulah keadilan hukum Allah dan
Rasul-Nya yang sudah jelas.
[1] Abdul
Wahhab Khallaf. Politik Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara kencana, 1994. Hlm 3
[2]
Mashalihul bentu jamak dari maslahah, artinya kemaslahatan, kepentingan.
Mursalah berarti terlepas, dengan demikian Mashalihul Mursalah berarti
kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah menetapkan hokum berdasarkan kepada
kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
[3] Abdul
Wahhab Khallaf, Politik hukum Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994, hlm 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar