. Sistematika Hukum Perdata
Hukum
perdata ( Burgerlijkrecht ) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada
kepentingan perseorangan.
Hukum
perdata diatur dalam ( bersumber pokok pada ) kitab Undang-Undang Hukum Sipil
yang disingkat KUHS ( Burgerlijk Wetboek. Disingkat B.W).[1]
KUHS
itu terdiri atas 4 Buku, yaitu:
1.
Buku I, yang
berjudul Perihal Orang ( Van Personen ), yang memuat hukum perorangan dan Hukum
Kekeluargaan.
2.
Buku II, yang
berjudul perihal Benda ( Van Zaken ), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris;
3.
Buku III, yang
berjudul Perihal Perikatan ( Van Verbintennnissen ), yang memuat Hukum Harta
Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi
orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4.
Buku IV, yang
berjudul perihal pembuktian dan kadaluwarsa atau Liwat Waktu ( Van Bewijs en
Verjaring ), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat liwat
waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Hukum kekeluargaan dalam bagian KUH
Perdata ( BW ) Indonesia dimasukkan ke dalam bagian hukum tentang orang ( Buku
I ), karena hubungan-hubungan hukum dalam keluarga memang berpengaruh terhadap
kecakapan seseorang untuk memiliki serta menggunakan hak-haknya sebagai subjek
hukum yang diatur dalam Buku I. Hukum waris dimasukkan dalam bagian tentang
hukum benda karena hukum waris dimasukkan dalam bagian tentang hukum benda
karena hukum waris dianggap mengatur cara-cara untuk memperoleh hak-hak atas
benda, misalnya benda-benda yang merupakan harta warisan yang ditinggalkan oleh
seseorang. Penempatan Buku IV tentang pembuktian dan lewat waktu ( kedaluarsa )
dalam KUH Perdata tidak tepat karena KUH perdata ( BW ) pada dasarnya mengatur
hukum perdata material, sedangkan pembuktian dan kadaluwarsa merupakan bagian
dari hukum acara perdata. Disinilah letak kelemahan sistematika hukum perdata
dalam KUH Perdata ( BW ) Indonesia.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar