Minggu, 12 Februari 2012

ilmu kalam : Riwayat hidup Nasr Hamid Abu Zayd


A.                     Riwayat Hidup Nasr Hamid Abu Zayd
Abu Zayd adalah nasr Hamid Abu Zayd, lahir pada 10 Juli 1943, besar dalam masyarakat Mesir Modern. Istrinya bernama Ibtihal Yunus. Ia meniti awal karirnya sebagai asisten dosen setelah mennyelesaikan studinya di Universitas Kairo, fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab pada 1972.[1]
Dalam peraturan akademik, seorang asisten yang baru diangkat harus melakukan penelitian studi islam tertentu untuk memperoleh gelar master dan doktor. Akan tetapi, Abu Zayd awalnya merasa keberatan untuk mengajukan tesis karena ada satu kekhawatiran, kasus Muhammad Ahmad Khalafullah yang ditolak tesisinya, The Art Of narration in the Qur’an. Peristiwa Ali Abd ar-Raziq dengan tesis ” Islam and principles of Political Authority ” ( 1925 ) dan, terakhir Taha Husain dengan tesis ” pre-Islamic Poetry ” ( 1928 ), menimpa dirinya.
Sebenarnya, pemimpin studi islam saat itu sangat membutuhkan tenaga-tenaga edukatif S1 karena sejak tahun 1954, setelah adanya kebijakan politik militer yang sering disebut gerakan Tentara Merdeka ( The Free Officers Movement ), Amin al-Khulli dan profesor lainnya banyak yang mengundurkan diri. Akhirnya, melihat kondisi seperti ini abu Zayd Menyanggupi untuk mengajukan risetnya.
Study awal yang ditulis Abu Zayd sebagai tesisi master nya adalah tentang konsep metafor dalam  al-Qur’an yang dipakai oleh aliran Mu’tazilah, The Concept of Metaphor as Applied to The Qur’an by Mu’tazilities, yang kemudian diterbitkan di Beirut pada 1982 ( edisi I )dan 1996 ( Edisi IV ) dengan judul al-Ittijah al-’Aqli fi at-Tafsir: Dirasah fi Qadiyyah al-Majaz fi Al-Qur’an ’ind al-Mu’tazilah ( The Rational Exegesis of The Qur’an ). Dengan menggunakan studi sastra kontemporer, dalam studi ini, Abu Zayd berkesimpulan bahwa metode ta’wil Mu’tazilah telah melahirkan satu medan pertempuran intelektual yang sarat akan kepentingan-kepentingan politik. Kesimpulan ini membuat Abu Zayd prihatin karena studi keilmuan sudah ditunggangi oleh kepentingan politik. Oleh karena itu, ia mencari bentuk pena’wilan dan atau penafsiran lain yang steril dari kepentingan politis.
Kemudian Abu Zayd mengkaji metode penafsiran yang bisa digunakan oleh para sufi. Kajian ini merupakan kajian kedua yang diperuntukkan sebagai disertainya untuk memperoleh gelar doktor, Ph. D. Disertasinya ini kemudian diterbitkan di Beirut pada 1983 dan 1996 dengan judul Falsafah at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ’ind Muhy ad-Din Ibn al-’Arabi lebih eklusif dan toleran kepada umat manusia.
Disamping aspek akademis diatas, Abu Zayd juga telah menyaksikan kebijakan politik dengan mengatasnamakan agama islam pada 1960 dan 1970 tentang sikap warga Mesir terhadap imperialisme dan Zionis Israel. Akan tetapi, kemudian Islam mengalami perubahan ajaran yang kontradiktif karena adanya perubahan konstelasi politik internasional.
Dua kajian dengan menggunakan pendekatan sastra di atas dan peristiwa politik Mesir yang kesemuanya menggunakan teks yang sam, al-qur’an yang menghasilkan kesimpulan yang berbeda menyadarkan Abu Zayd bahwa di sana terjadi manipulasi politik yang disengaja terhadap teks oleh karena itu, ia ingin mengembalikan fungsi dan peran teks yang sebenarnya pada kajian ilmiah. Obsesi untuk mengembalikan posisi teks pada tempatnya ini diwujudkannya mengembalikan posisi teks pad a tempatnya ini diwujudkannya dengan menghasilkan buku yang diberi judul Mafhum an-nass: Dirasah fi ”ulum al-Qur’an ketika berada di Jepang yang diterbitkan pada 1999 di Kairo. Melalui buku ini, Abu Zayd mengatakan bahwa tidak ada teks yang hampa dari konteks historys, tanpa terkecuali al-qur’an, dan karenanya merupakan objek kajian yang layak diteliti. Pendapat teks al-qur’an sebagai teks historis ini bukan berarti teks al-Qur’an itu berasal dari manusia, tetapi ia merupakan kata-kata ( kalam ) Tuhan yang Eternal diwahyukan kepada Muhammad dengan menggunkan bahasa Arab dalam ruang dan waktu tertentu, dan inilah yang kemudian disebut dengan teks yang historis.
Sekalipun demikian, Abu Zayd tetap merasakan bahwa setiap kajian  teks keagamaan tidak bisa dilepaskan dari wacana yang muncul disekitarnya yang harus diperhatikan. Dalam memahami atau menafsirkan teks, tidak boleh terjadi salaing menundukkan antara si pembaca dan teks. Menafsirkan bukan berarti teks harus tunduk pada si penafsir, bukan pula si penafsir menyesuaikan dan tunduk pada teks. Pemikiran ini membuahkan satu buku lagi yang berjudul Naqd al-Khittab as-Dini, terbit pada 1992 dan 1996.
Pendekatan sastra yang digunakan Abu Zayd pada akhirnya memformulasikan dan sekaligus menjadi tren studinya dengan menggunakan metodologi semiotika dan hermeneutika. Metodologi ini diterapkan oleh Abu Zayd untuk mengkritik para fuqaha’ ( ahli hukum islam ) yang dianggapnya sering mengabaikan aspek historis dalam mengakaji teks keagamaan. Dengan kritik wacananya ia menggugat pemikiran Imam Syafi’i yang selama ini telah menghegemoni pemikiran dunia sunni. Secara tidak sadar, umat islam sudah terbelenggu dan ditundukkan oleh teks klasik terutama teks Usul al-Fiqh nya Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ia menulis sebuah buku yang diberi judul al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis al-Idiyulujiyyah al-Wasatiyyah, diterbitkan di Kairop pada 1996.
Akhirnya pada Mei 1992, Abu Zayd diusulkan untuk dipromosikan menjadi prosfessor ( al-Ustadz ). Semua pengabdiannya di dunia akademik, dengan kedua buku terakhir diatas dan sebelas makalah dijadikan pertimbangan dan nilai oleh tim, semacam majelis pertimbangan akademik. Akan tetapi, pengajuan ini, setelah diproses selama tujuh bulan, ditolak dengan alasan karena tesisnya dianggap telah keluar dari nilai-nilai keimanan. Maka sejak itu, 16 Desember 1993, menyebarllah hujatan yang ditujukan kepadanya. Hal ini terutama dilakukan oleh Dr. Sabur Syahin, salah satu anggota tim penilai yang dengan agiatif membawa dan menyebarkan hasil penilaiannya ke publik. Dr. Syahin mengumandangkan kekafiran Abu zayd ke seluruh Mesir melalui koran, majalah dan khotbah-khotbah di berbagai masjid, salah satunya di mesjid Amr ibn Ash pada tanggal 2 April 1993 dan sebagainya sehingga membentuk opini masyarakat. Upaya ini diikuti oleh, antara lain, Dr. Muhammad baltaqi, Dr. Ismail Salim, dan Dr. Muhammad asy-Syuk’a. Opini tentang kekafiran dan kemurtadan Abu Zayd memaksa pengadilan menjatuhkan vonis ” murtad ” dan harus bercerai dengan isterinya.
Akhirnya. Abu zayd mendapat undangan dari Universitas Leiden untuk menjadi guru besar dan ia memilih tinggal disana, sampai sekarang.

B.                      Pemikiran Abu Zayd
·  Genealogi Pemikiran
Seperti layaknya Arkoun, al-Jabiri, dan pemikir Posstradisionalisme islam lainnya, Nasr Hamid Abu Zayd yang telah mendapat julukan ” shaykh nasr ’ di usianya yang baru delapan tahun karena memang telah mengahafalkan al-qur’an dengan baik menjadikan tradisi sebagai mekanisme ( ’Aliyat ) dan titik tolak ( muntaliqah ) dalam kritik wacana agamanya. Dalam hal ini pemikirannya tentang tekstualitas al-Qur’an menjadi sangat kontroversial di kalangan ulama ” tradisional ” Mesir. Bahkan, karena pemikiran ini ia diusir dari tanah airnya dan tinggal di negeri orang lain, Belanda.
Abu Zayd mengembangkan kritik wacana agama dengan merusmuskan beberapa pikiran.
1.                        Penghapusan dikotomi akal dan wahyu, filsafat dan agama.
Sebagaimana diketahui bahwa, sejak awal, islam diturunkan, memang agama tersebut telah membawa dua kutub pengetahuan bagi kehidupan manusia, yaitu keyakinan ( wahyu ) dan Rasionalitas ( akal ) yang mana masing-masing ini mempunyai aktivitas yang berbeda, namun tetap dalam satu jalinan kerja.
Wahyu sebagai dasar ( mabda’ ) bagi kehidupan umat islam bagaimanapun tetap mempunyai kekurangan untuk bisa dipahami dengan baik dan apalagi mempunyai keterbatasan untuk bisa diaplikasikan dengan benar. Untuk menjawab problem ini, tidak ada lain kecuali dengan menempatkan wahyu sebagai teks ( nass ) dan akal sebagai pisau bedahnya sehingga ada penyatuan antara teks dan konsep al- qur’an dalam wacana keislaman.
Hal ini, menurut Abu Zayd dalam ” The Textuality of the Koran ” dalam islam and Europe in Past and Present, sebagaimana dikutip oleh Moch. Nur Ichwan, setidaknya didasarkan pada  pertimbangan bahwa :
a)                       Wahyu dalam al-Qur’an secara semantik setara dengan perkataan Allah ( kalamullah ) dan AL-Qur’an adalah pesan ( risalah ). Sebagai perkataan dan pesan al-Qur’an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai ” teks ”.
b)                       Urutan tekstual surat dan ayat dalam teks al-Qur’an tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis pewahyuan al-Qur’an merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang ada seperti sekarang ini merefleksikan tekstualitasnya.
c)                       Al-Qur’an sendiri terdiri dari ayat-ayat yang jelas ( muhkamat ) yang merupakan induk teks dan ayat-ayat meminjam istilah Machasin-Wayuh arti/ ambigu/ tidak jelas ( mutasyabihat ), yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamat.
2.                       Menerima Pluralisme ( rad az-zawahir ila mabda’ wahid )
Perbincangan tentang islam, sebagaimana yang muncul dalam wacana agama lain, mengandaikan adanya perasaan kuat atau religiositas tinggi yang tumbuh dalam setiap muslim terhadap satu kekuatan abadi yang disebut Allah. Perasaan tersebut biasa dan alamiah yang muncul dalam kehidupan individual. Bersamaan dengan itu pula, muncul kekuatan lain yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan sosial yang lebih nyata, yaitu aktivitas pikiran atau akal.
Dalam wacana agama, aktivitas pikiran ( akal ) ini dimunculkan dengan pertimbangan bahwa ia merupakan salah satupenyelamat akidah yang mapan, tidak bisa dikritik. Seandainya setiap akidah itu meyakini bahwa alam ini tunduk kepada prinsip yang satu, Allah ( kalau dalam islam ), maka wacana agama-bukan akidah adalah yang melakukan tafsir bagi setiap fenomena, alam dan sosial, dengan mengembalikannya kepada prinsip yang satu. Yaitu, dengan menempatkan Allah pada realitas nyata secara langsung dan mengembalikan apa pun yang terjadi di dalam realitas tersebut kepada-Nya.
Abu Zayd sebenarnya mengehendaki agar pintu ijtihad bagi muslim dibuka lebar-lebar. Karena masyarakat muslim masih menganggap tradisi sebagai sesuatu yang penting, sehingga ijtihad sering dianggap sebagai ajaran yang sakral dan tidak boleh dilakukan kecuali oleh sekelompok masyarakat yang mendapat legitimasi sosial. Politik dan agama.
3.                       Bersandar pada kekuatan tradisi dan masa lalu
Hal ini mengingat islam telah mewarisi berbagai ragam tradisi yang dibentuk dalam konteks sosial dan budayanya. Untuk itu perlu dilakukan usha untuk mengubah pendapat, pikiran, dan usaha-usaha intelektual para ulama terdahulu yang suci dan tidak bisa dikritik tersebut kedalam teks yang siap untuk dilihat, dicermati, dan dikritik kembali karena dalam tradisi tersebut terdapat aspek selain aspek ilahiyah yang sangat terkait dengan kondisi sosial dan sejarah umat manusia.
4.                       Meniscayakan dimensi historis ( ibdar al-bu’d at-tarikhi )
Sebagaimana disebut diatas, bahwa tradisi masa lalu itu dibentuk dalam konteks sosial dan historisnya sehingga untuk mendapatkan pemahaman yang baik, seperti yang dipahami para pecipta tradisi itu, menurut Abu Zayd, harus dengna melihat konteks sosio historisnya. Bahkan, perlu juga melihat maksud-maksud atau pemahaman ilahiyyah-nya.
·  Pikiran
Sebagaimana gurunya, Amin al-Khulli, Abu Zayd mengembangkan studi Al-Qur’an dengan pendekatan sastra. Tentang studi ini, ia memiliki paling tidak dua tujuan utama : pertama, mengaitkan kembali studi al-Qur’an dengan studi sastra dan studi kritis. Menurutnya :
” bagi Bahasa Arab, tidak ada pendekatan yang tepat digunakan untuk melakukan studi teks Al-qur’an kecuali dari salah satu diantara dua persepektif ini: bahasa atau sastra.”
Studi islam dan al-Qur’an dengan demikian, didasarkan pertama dan utamanya atas ” teks ”. Studi al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Karena jika konsep teks ( nass merupakan konsep utama dalam ilmu-ilmu al-Qur’an ) maka mau tidak mau konsep tersebut menjadi konsep utama dalam studi kesastraan. Perubahan metode dan perbedaan tujuan kritik dalam studi teks  sastra intinya hanyalah pembatasan esensi, karakteristik, dan kewajiban teks itu sendiri. Sehingga konsep teks bukan saja menjadi konsep dasar dalam studi kesusastraan, tetapi juga meruapakan konsep dasar dalam studi ilmu-ilmu humaniora, dalam wilayah kebudayaan secara umum.
Kedua, mendefinisikan pemahaman objektif tentang islam yang terhindar dari kepentingan-kepentingan ideologis. Abu Zayd sadar akan kenyataan bahwa selalu saja ada kelompok-kelompok yang menggunakan islam secara ideologi untuk mendukung tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka. Kritiknya yang tajam diberikan kepada tokoh yang telah berjasa besar bagi perkembangan hukum ( fiqh ), imam syafi’i.  Semangat utama untuk mendefinisikan islam secara objektif tersebut harus dilakukan mengingat ” teks-teks keagamaan ” seperti karya-karya syafi’i merupakan warisan intelektual islam yang dibentuk dalam bingkai historis dan ideologis masa itu. Seiring dengan perjalanan waktu yang terus berubah, keadaan zaman pun berubah, sehingga tidak mungkin saat ini memahami islam sebagai mana yang diapahami masa imam syafi’i. Oleh karena itu, diperlukan pembacaan kembali warisan-warisan intelektual tersebut untuk dapat diperoleh signifikansi sosial, ekonomi dan politiknya, sehingga pengertian dan pemahaman objektif terhadap islam dapat diwujudkan. Dari sini dapat diperoleh suatu ” ideologi ”, yaitu pandangan dunia yang memberikan manusia norma-norma benar-salah, pahala-siksa, boleh dilarang, dalam pengertiannya yang sosiologis.
Untuk menggapai tujuan diatas, Abu Zayd memunculkan wacana baru berkaitan dengan konsep al-Qur’an. Bila orang selama ini menganggap al-Qur’an sebagai wahyu, kalam Ilahi, suci, dan tidak bisa dikritik, maka Abu Zayd menempatkannya sebagai tidak lebih dari produk budaya ( al-muntaj as-Saqafi ), tepatnya budaya Arab abad ketujuh. Hal ini mengandaikan bahwa al-Qur’an adalah teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya arab selama lebih dari 20 tahun, dan ditulis berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut, dimana bahasa merupakan sistem pemaknaannya yang sentral. Namun, pada akhirnya, teks berubah menjadi produser budaya, yang menciptakan budaya baru sesuai dengan pandangan dunianya, sebagaimana tercermin dalam budaya islam sepanjang sejarahnya.
Sebagai produk budaya, al-Qur’an tidak lebih dari sebuah teks yang mana teks ini mempunyai hubungan dengan teks-teks lain  yang mendahuluinya, yaitu:
a.                        Teks keagamaan, seperti Zabur, taurat, dan Injil
b.                       Teks kebudayaan, seperti puisi ( syi’ir ), dongeng atau cerita, dan ramalan ( kahana ).. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, dengan melihat argumen-argumen tentang hakekat teks, intertektualitas ini tampaknya dalam pemikiran Abu Zayd, baik yang berkaitan dengan isi maupun bentuk. Dalam aspek bentuk, misalnya ada persamaanantara sejumlah teks al-Qur’an dengan teks puisi atau bahkan teks ramalan, kendatipun persamaan itu tidak bisa digeneralisasikan, karena banyak juga teks al-Qur’an yang mempunyai bentuk berbeda. Sedang dalam aspek isi, Abu Zayd meyakini bahwa dalam teks al-Qur’an juga ada intereks dengan teks-teks lain, yaitu yang berkaitan dengan konsep mental atau budaya masyarakat Arab yang tercermin dalam bahasa arab.
Untuk menjelaskan bahwa al-Qur’an ( wahyu ) itu  merupakan teks linguistik, Abu Zayd membuat skema sebagai berikut :[2]
Allah
 




Manusia
Muhammad
Jibril
Turun
 


                                     Wahyu/ risalah                                      Penyampaian/ peringatan
Dari skema diatas jelas bahwa tujuan akhir diturunkannya al-Qur’an  adalah manusia sehingga dalam hal ini menunjukkan seluruh proses komunikasi. Tuhan bertindak sebagai komunikan dan makhluk sebagai komunikator. Diantara keduanya terdapat Muhammad. Komunikasi ini tidak harus bersifat verbal, menggunakan bentuk-bentuk linguistik sehingga al-Qur’an juga bersifat misterius, rahasia dan bersifat pribadi. Tuhan selalu memperhatikan kondisi manusia dimana mereka berada sehingga bahasanya pun menggunakan bahasa manusia. Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad hanya berupa maknanya, konsep.
Teks keagamaan dengan mempertimbangkan pemikiran bahwa ia muncul dengan bahasa, budaya, dan sejarah suatu masa dengan demikian juga merupakan teks historis. Artinya, bahwa makna-maknanya tidak bisa dilepaskan dari sistem bahasa dan budaya yang menjadi bagian darinya.
Dari sudut pandang diatas Abu Zayd melihat bahwa bahasa beserta ruang lingkup budayanya merupakan referensi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan penakwilan al-Qur’an. Hal ini, seperti kajian-kajian tentang al-makki-al-madani dan an-nasikh al-mansukh dalam ”ulumul Qur’an. Mengandaikan bahwa bahasa itu tidaklah tetap dan statis, tetapi terus bergerak dan berubah sesuai dengan budaya dan realitas yang ada. Atau dengan kata lain perkataan, sejarah makna teks  keagamaan itu tidak tetap, sebagaimana ia pertama kali dibentuk. Sejarah makna teks akan slalu berubah dan berkembang seiring fdengan perubahan dan perkembangan bahasa dan budaya manusia, dinamis.
Abu Zayd ingin menjelaskan dalam konteks kebudayaan bahwa, di satu sisi, al-Qur’an adalah teks linguistik dan historis. Sementara, pada sisi lain, ia juga merupakan teks manusiawi, yang ketiganya ini terangkum dalam keberadaan al-Qur’an sebagai teks kesusastraan. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakan akademisnya, ia menggunakan pendekatan sastra dalam studi-studinya yang sangat memperhatikan aspek linguistik, historis, dan kemanusiawian teks.




[1] Mulyadi Kartanegara. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta : Jendela, 2003, hlm 353-356.

[2] Mulyadi Kartanegara. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta : Jendela, 2003, hlm 367

Tidak ada komentar:

Posting Komentar