A.
Riwayat Hidup
Nasr Hamid Abu Zayd
Abu Zayd
adalah nasr Hamid Abu Zayd, lahir pada 10 Juli 1943, besar dalam masyarakat
Mesir Modern. Istrinya bernama Ibtihal Yunus. Ia meniti awal karirnya sebagai
asisten dosen setelah mennyelesaikan studinya di Universitas Kairo, fakultas
Sastra Jurusan Bahasa Arab pada 1972.[1]
Dalam
peraturan akademik, seorang asisten yang baru diangkat harus melakukan
penelitian studi islam tertentu untuk memperoleh gelar master dan doktor. Akan
tetapi, Abu Zayd awalnya merasa keberatan untuk mengajukan tesis karena ada
satu kekhawatiran, kasus Muhammad Ahmad Khalafullah yang ditolak tesisinya, The Art Of narration in the Qur’an.
Peristiwa Ali Abd ar-Raziq dengan tesis ” Islam
and principles of Political Authority ” ( 1925 ) dan, terakhir Taha Husain
dengan tesis ” pre-Islamic Poetry ” (
1928 ), menimpa dirinya.
Sebenarnya,
pemimpin studi islam saat itu sangat membutuhkan tenaga-tenaga edukatif S1
karena sejak tahun 1954, setelah adanya kebijakan politik militer yang sering
disebut gerakan Tentara Merdeka ( The Free Officers Movement ), Amin al-Khulli
dan profesor lainnya banyak yang mengundurkan diri. Akhirnya, melihat kondisi
seperti ini abu Zayd Menyanggupi untuk mengajukan risetnya.
Study awal
yang ditulis Abu Zayd sebagai tesisi master nya adalah tentang konsep metafor
dalam al-Qur’an yang dipakai oleh aliran
Mu’tazilah, The Concept of Metaphor as Applied to The Qur’an by Mu’tazilities,
yang kemudian diterbitkan di Beirut pada 1982 ( edisi I )dan 1996 ( Edisi IV )
dengan judul al-Ittijah al-’Aqli fi
at-Tafsir: Dirasah fi Qadiyyah al-Majaz fi Al-Qur’an ’ind al-Mu’tazilah (
The Rational Exegesis of The Qur’an ). Dengan menggunakan studi sastra
kontemporer, dalam studi ini, Abu Zayd berkesimpulan bahwa metode ta’wil
Mu’tazilah telah melahirkan satu medan pertempuran intelektual yang sarat akan
kepentingan-kepentingan politik. Kesimpulan ini membuat Abu Zayd prihatin
karena studi keilmuan sudah ditunggangi oleh kepentingan politik. Oleh karena
itu, ia mencari bentuk pena’wilan dan atau penafsiran lain yang steril dari
kepentingan politis.
Kemudian Abu
Zayd mengkaji metode penafsiran yang bisa digunakan oleh para sufi. Kajian ini
merupakan kajian kedua yang diperuntukkan sebagai disertainya untuk memperoleh
gelar doktor, Ph. D. Disertasinya ini kemudian diterbitkan di Beirut pada 1983
dan 1996 dengan judul Falsafah at-Ta’wil:
Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ’ind Muhy ad-Din Ibn al-’Arabi lebih eklusif
dan toleran kepada umat manusia.
Disamping
aspek akademis diatas, Abu Zayd juga telah menyaksikan kebijakan politik dengan
mengatasnamakan agama islam pada 1960 dan 1970 tentang sikap warga Mesir
terhadap imperialisme dan Zionis Israel. Akan tetapi, kemudian Islam mengalami
perubahan ajaran yang kontradiktif karena adanya perubahan konstelasi politik
internasional.
Dua kajian
dengan menggunakan pendekatan sastra di atas dan peristiwa politik Mesir yang
kesemuanya menggunakan teks yang sam, al-qur’an yang menghasilkan kesimpulan
yang berbeda menyadarkan Abu Zayd bahwa di sana terjadi manipulasi politik yang
disengaja terhadap teks oleh karena itu, ia ingin mengembalikan fungsi dan
peran teks yang sebenarnya pada kajian ilmiah. Obsesi untuk mengembalikan
posisi teks pada tempatnya ini diwujudkannya mengembalikan posisi teks pad a
tempatnya ini diwujudkannya dengan menghasilkan buku yang diberi judul Mafhum
an-nass: Dirasah fi ”ulum al-Qur’an
ketika berada di Jepang yang diterbitkan pada 1999 di Kairo. Melalui buku ini,
Abu Zayd mengatakan bahwa tidak ada teks yang hampa dari konteks historys,
tanpa terkecuali al-qur’an, dan karenanya merupakan objek kajian yang layak
diteliti. Pendapat teks al-qur’an sebagai teks historis ini bukan berarti teks
al-Qur’an itu berasal dari manusia, tetapi ia merupakan kata-kata ( kalam )
Tuhan yang Eternal diwahyukan kepada Muhammad dengan menggunkan bahasa Arab
dalam ruang dan waktu tertentu, dan inilah yang kemudian disebut dengan teks
yang historis.
Sekalipun
demikian, Abu Zayd tetap merasakan bahwa setiap kajian teks keagamaan tidak bisa dilepaskan dari
wacana yang muncul disekitarnya yang harus diperhatikan. Dalam memahami atau
menafsirkan teks, tidak boleh terjadi salaing menundukkan antara si pembaca dan
teks. Menafsirkan bukan berarti teks harus tunduk pada si penafsir, bukan pula
si penafsir menyesuaikan dan tunduk pada teks. Pemikiran ini membuahkan satu
buku lagi yang berjudul Naqd al-Khittab as-Dini, terbit pada 1992 dan 1996.
Pendekatan
sastra yang digunakan Abu Zayd pada akhirnya memformulasikan dan sekaligus
menjadi tren studinya dengan menggunakan metodologi semiotika dan hermeneutika.
Metodologi ini diterapkan oleh Abu Zayd untuk mengkritik para fuqaha’ ( ahli
hukum islam ) yang dianggapnya sering mengabaikan aspek historis dalam
mengakaji teks keagamaan. Dengan kritik wacananya ia menggugat pemikiran Imam
Syafi’i yang selama ini telah menghegemoni pemikiran dunia sunni. Secara tidak
sadar, umat islam sudah terbelenggu dan ditundukkan oleh teks klasik terutama
teks Usul al-Fiqh nya Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ia menulis sebuah buku yang
diberi judul al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis al-Idiyulujiyyah al-Wasatiyyah, diterbitkan
di Kairop pada 1996.
Akhirnya pada
Mei 1992, Abu Zayd diusulkan untuk dipromosikan menjadi prosfessor ( al-Ustadz
). Semua pengabdiannya di dunia akademik, dengan kedua buku terakhir diatas dan
sebelas makalah dijadikan pertimbangan dan nilai oleh tim, semacam majelis
pertimbangan akademik. Akan tetapi, pengajuan ini, setelah diproses selama
tujuh bulan, ditolak dengan alasan karena tesisnya dianggap telah keluar dari
nilai-nilai keimanan. Maka sejak itu, 16 Desember 1993, menyebarllah hujatan yang
ditujukan kepadanya. Hal ini terutama dilakukan oleh Dr. Sabur Syahin, salah
satu anggota tim penilai yang dengan agiatif membawa dan menyebarkan hasil
penilaiannya ke publik. Dr. Syahin mengumandangkan kekafiran Abu zayd ke
seluruh Mesir melalui koran, majalah dan khotbah-khotbah di berbagai masjid,
salah satunya di mesjid Amr ibn Ash pada tanggal 2 April 1993 dan sebagainya
sehingga membentuk opini masyarakat. Upaya ini diikuti oleh, antara lain, Dr.
Muhammad baltaqi, Dr. Ismail Salim, dan Dr. Muhammad asy-Syuk’a. Opini tentang
kekafiran dan kemurtadan Abu Zayd memaksa pengadilan menjatuhkan vonis ” murtad
” dan harus bercerai dengan isterinya.
Akhirnya. Abu
zayd mendapat undangan dari Universitas Leiden untuk menjadi guru besar dan ia
memilih tinggal disana, sampai sekarang.
B.
Pemikiran Abu
Zayd
· Genealogi Pemikiran
Seperti
layaknya Arkoun, al-Jabiri, dan pemikir Posstradisionalisme islam lainnya, Nasr
Hamid Abu Zayd yang telah mendapat julukan ” shaykh nasr ’ di usianya yang baru
delapan tahun karena memang telah mengahafalkan al-qur’an dengan baik
menjadikan tradisi sebagai mekanisme ( ’Aliyat
) dan titik tolak ( muntaliqah )
dalam kritik wacana agamanya. Dalam hal ini pemikirannya tentang tekstualitas
al-Qur’an menjadi sangat kontroversial di kalangan ulama ” tradisional ” Mesir.
Bahkan, karena pemikiran ini ia diusir dari tanah airnya dan tinggal di negeri
orang lain, Belanda.
Abu Zayd
mengembangkan kritik wacana agama dengan merusmuskan beberapa pikiran.
1.
Penghapusan dikotomi akal dan wahyu, filsafat dan
agama.
Sebagaimana
diketahui bahwa, sejak awal, islam diturunkan, memang agama tersebut telah
membawa dua kutub pengetahuan bagi kehidupan manusia, yaitu keyakinan ( wahyu )
dan Rasionalitas ( akal ) yang mana masing-masing ini mempunyai aktivitas yang
berbeda, namun tetap dalam satu jalinan kerja.
Wahyu sebagai
dasar ( mabda’ ) bagi kehidupan umat islam bagaimanapun tetap mempunyai
kekurangan untuk bisa dipahami dengan baik dan apalagi mempunyai keterbatasan
untuk bisa diaplikasikan dengan benar. Untuk menjawab problem ini, tidak ada
lain kecuali dengan menempatkan wahyu sebagai teks ( nass ) dan akal sebagai
pisau bedahnya sehingga ada penyatuan antara teks dan konsep al- qur’an dalam
wacana keislaman.
Hal ini,
menurut Abu Zayd dalam ” The Textuality of the Koran ” dalam islam and Europe
in Past and Present, sebagaimana dikutip oleh Moch. Nur Ichwan, setidaknya
didasarkan pada pertimbangan bahwa :
a)
Wahyu dalam al-Qur’an secara semantik setara
dengan perkataan Allah ( kalamullah )
dan AL-Qur’an adalah pesan ( risalah ). Sebagai perkataan dan pesan al-Qur’an
meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai ” teks ”.
b)
Urutan tekstual surat dan ayat dalam teks
al-Qur’an tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis
pewahyuan al-Qur’an merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan
urutan yang ada seperti sekarang ini merefleksikan tekstualitasnya.
c)
Al-Qur’an sendiri terdiri dari ayat-ayat yang
jelas ( muhkamat ) yang merupakan
induk teks dan ayat-ayat meminjam istilah Machasin-Wayuh
arti/ ambigu/ tidak jelas ( mutasyabihat
), yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamat.
2.
Menerima Pluralisme ( rad az-zawahir ila mabda’ wahid )
Perbincangan
tentang islam, sebagaimana yang muncul dalam wacana agama lain, mengandaikan
adanya perasaan kuat atau religiositas tinggi yang tumbuh dalam setiap muslim
terhadap satu kekuatan abadi yang disebut Allah. Perasaan tersebut biasa dan
alamiah yang muncul dalam kehidupan individual. Bersamaan dengan itu pula,
muncul kekuatan lain yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan sosial yang
lebih nyata, yaitu aktivitas pikiran atau akal.
Dalam wacana
agama, aktivitas pikiran ( akal ) ini dimunculkan dengan pertimbangan bahwa ia
merupakan salah satupenyelamat akidah yang mapan, tidak bisa dikritik.
Seandainya setiap akidah itu meyakini bahwa alam ini tunduk kepada prinsip yang
satu, Allah ( kalau dalam islam ), maka wacana agama-bukan akidah adalah yang
melakukan tafsir bagi setiap fenomena, alam dan sosial, dengan mengembalikannya
kepada prinsip yang satu. Yaitu, dengan menempatkan Allah pada realitas nyata
secara langsung dan mengembalikan apa pun yang terjadi di dalam realitas
tersebut kepada-Nya.
Abu Zayd
sebenarnya mengehendaki agar pintu ijtihad bagi muslim dibuka lebar-lebar.
Karena masyarakat muslim masih menganggap tradisi sebagai sesuatu yang penting,
sehingga ijtihad sering dianggap sebagai ajaran yang sakral dan tidak boleh
dilakukan kecuali oleh sekelompok masyarakat yang mendapat legitimasi sosial.
Politik dan agama.
3.
Bersandar pada kekuatan tradisi dan masa lalu
Hal ini
mengingat islam telah mewarisi berbagai ragam tradisi yang dibentuk dalam
konteks sosial dan budayanya. Untuk itu perlu dilakukan usha untuk mengubah
pendapat, pikiran, dan usaha-usaha intelektual para ulama terdahulu yang suci
dan tidak bisa dikritik tersebut kedalam teks yang siap untuk dilihat,
dicermati, dan dikritik kembali karena dalam tradisi tersebut terdapat aspek
selain aspek ilahiyah yang sangat terkait dengan kondisi sosial dan sejarah
umat manusia.
4.
Meniscayakan dimensi historis ( ibdar al-bu’d at-tarikhi )
Sebagaimana
disebut diatas, bahwa tradisi masa lalu itu dibentuk dalam konteks sosial dan
historisnya sehingga untuk mendapatkan pemahaman yang baik, seperti yang
dipahami para pecipta tradisi itu, menurut Abu Zayd, harus dengna melihat
konteks sosio historisnya. Bahkan, perlu juga melihat maksud-maksud atau
pemahaman ilahiyyah-nya.
· Pikiran
Sebagaimana
gurunya, Amin al-Khulli, Abu Zayd mengembangkan studi Al-Qur’an dengan
pendekatan sastra. Tentang studi ini, ia memiliki paling tidak dua tujuan utama
: pertama, mengaitkan kembali studi
al-Qur’an dengan studi sastra dan studi kritis. Menurutnya :
” bagi Bahasa
Arab, tidak ada pendekatan yang tepat digunakan untuk melakukan studi teks
Al-qur’an kecuali dari salah satu diantara dua persepektif ini: bahasa atau
sastra.”
Studi islam
dan al-Qur’an dengan demikian, didasarkan pertama dan utamanya atas ” teks ”.
Studi al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi
linguistik dan sastra. Karena jika konsep teks ( nass merupakan konsep utama
dalam ilmu-ilmu al-Qur’an ) maka mau tidak mau konsep tersebut menjadi konsep
utama dalam studi kesastraan. Perubahan metode dan perbedaan tujuan kritik
dalam studi teks sastra intinya hanyalah
pembatasan esensi, karakteristik, dan kewajiban teks itu sendiri. Sehingga
konsep teks bukan saja menjadi konsep dasar dalam studi kesusastraan, tetapi
juga meruapakan konsep dasar dalam studi ilmu-ilmu humaniora, dalam wilayah
kebudayaan secara umum.
Kedua, mendefinisikan pemahaman objektif tentang
islam yang terhindar dari kepentingan-kepentingan ideologis. Abu Zayd sadar
akan kenyataan bahwa selalu saja ada kelompok-kelompok yang menggunakan islam
secara ideologi untuk mendukung tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka.
Kritiknya yang tajam diberikan kepada tokoh yang telah berjasa besar bagi
perkembangan hukum ( fiqh ), imam syafi’i.
Semangat utama untuk mendefinisikan islam secara objektif tersebut harus
dilakukan mengingat ” teks-teks keagamaan ” seperti karya-karya syafi’i
merupakan warisan intelektual islam yang dibentuk dalam bingkai historis dan
ideologis masa itu. Seiring dengan perjalanan waktu yang terus berubah, keadaan
zaman pun berubah, sehingga tidak mungkin saat ini memahami islam sebagai mana
yang diapahami masa imam syafi’i. Oleh karena itu, diperlukan pembacaan kembali
warisan-warisan intelektual tersebut untuk dapat diperoleh signifikansi sosial,
ekonomi dan politiknya, sehingga pengertian dan pemahaman objektif terhadap
islam dapat diwujudkan. Dari sini dapat diperoleh suatu ” ideologi ”, yaitu
pandangan dunia yang memberikan manusia norma-norma benar-salah, pahala-siksa,
boleh dilarang, dalam pengertiannya yang sosiologis.
Untuk
menggapai tujuan diatas, Abu Zayd memunculkan wacana baru berkaitan dengan
konsep al-Qur’an. Bila orang selama ini menganggap al-Qur’an sebagai wahyu,
kalam Ilahi, suci, dan tidak bisa dikritik, maka Abu Zayd menempatkannya
sebagai tidak lebih dari produk budaya ( al-muntaj as-Saqafi ), tepatnya budaya
Arab abad ketujuh. Hal ini mengandaikan bahwa al-Qur’an adalah teks yang muncul
dalam sebuah struktur budaya arab selama lebih dari 20 tahun, dan ditulis
berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut, dimana bahasa merupakan sistem
pemaknaannya yang sentral. Namun, pada akhirnya, teks berubah menjadi produser
budaya, yang menciptakan budaya baru sesuai dengan pandangan dunianya,
sebagaimana tercermin dalam budaya islam sepanjang sejarahnya.
Sebagai produk
budaya, al-Qur’an tidak lebih dari sebuah teks yang mana teks ini mempunyai
hubungan dengan teks-teks lain yang
mendahuluinya, yaitu:
a.
Teks keagamaan, seperti Zabur, taurat, dan
Injil
b.
Teks kebudayaan, seperti puisi ( syi’ir ),
dongeng atau cerita, dan ramalan ( kahana ).. Meskipun tidak secara eksplisit
disebutkan, dengan melihat argumen-argumen tentang hakekat teks,
intertektualitas ini tampaknya dalam pemikiran Abu Zayd, baik yang berkaitan
dengan isi maupun bentuk. Dalam aspek bentuk, misalnya ada persamaanantara
sejumlah teks al-Qur’an dengan teks puisi atau bahkan teks ramalan, kendatipun
persamaan itu tidak bisa digeneralisasikan, karena banyak juga teks al-Qur’an
yang mempunyai bentuk berbeda. Sedang dalam aspek isi, Abu Zayd meyakini bahwa
dalam teks al-Qur’an juga ada intereks dengan teks-teks lain, yaitu yang
berkaitan dengan konsep mental atau budaya masyarakat Arab yang tercermin dalam
bahasa arab.
Untuk
menjelaskan bahwa al-Qur’an ( wahyu ) itu
merupakan teks linguistik, Abu Zayd membuat skema sebagai berikut :[2]
Allah
|
Manusia
|
Muhammad
|
Jibril
|
Wahyu/
risalah Penyampaian/ peringatan
Dari skema
diatas jelas bahwa tujuan akhir diturunkannya al-Qur’an adalah manusia sehingga dalam hal ini
menunjukkan seluruh proses komunikasi. Tuhan bertindak sebagai komunikan dan
makhluk sebagai komunikator. Diantara keduanya terdapat Muhammad. Komunikasi
ini tidak harus bersifat verbal, menggunakan bentuk-bentuk linguistik sehingga
al-Qur’an juga bersifat misterius, rahasia dan bersifat pribadi. Tuhan selalu
memperhatikan kondisi manusia dimana mereka berada sehingga bahasanya pun
menggunakan bahasa manusia. Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an yang
diturunkan kepada Muhammad hanya berupa maknanya, konsep.
Teks keagamaan
dengan mempertimbangkan pemikiran bahwa ia muncul dengan bahasa, budaya, dan
sejarah suatu masa dengan demikian juga merupakan teks historis. Artinya, bahwa
makna-maknanya tidak bisa dilepaskan dari sistem bahasa dan budaya yang menjadi
bagian darinya.
Dari sudut
pandang diatas Abu Zayd melihat bahwa bahasa beserta ruang lingkup budayanya
merupakan referensi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan penakwilan
al-Qur’an. Hal ini, seperti kajian-kajian tentang al-makki-al-madani dan an-nasikh
al-mansukh dalam ”ulumul Qur’an.
Mengandaikan bahwa bahasa itu tidaklah tetap dan statis, tetapi terus bergerak
dan berubah sesuai dengan budaya dan realitas yang ada. Atau dengan kata lain
perkataan, sejarah makna teks keagamaan
itu tidak tetap, sebagaimana ia pertama kali dibentuk. Sejarah makna teks akan
slalu berubah dan berkembang seiring fdengan perubahan dan perkembangan bahasa
dan budaya manusia, dinamis.
Abu Zayd ingin
menjelaskan dalam konteks kebudayaan bahwa, di satu sisi, al-Qur’an adalah teks
linguistik dan historis. Sementara, pada sisi lain, ia juga merupakan teks
manusiawi, yang ketiganya ini terangkum dalam keberadaan al-Qur’an sebagai teks
kesusastraan. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakan akademisnya, ia
menggunakan pendekatan sastra dalam studi-studinya yang sangat memperhatikan
aspek linguistik, historis, dan kemanusiawian teks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar