Minggu, 12 Februari 2012

Pengantar Ilmu Hukum : Hukum Perdata


Sejarah  Hukum Perdata
1.      Kodifikasi Hukum Perdata Belanda, tahun 1830[1]
Sumber pokok hukum perdata ( Burgerlijkrecht ) ialah kitab Undang-undang Hukum sipil ( Burgerlijk Wetboek ), disingkat KUHS ( B.W ).
KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838; akibat pendudukan Perancis di Belanda, berlaku di Negeri Belanda sebagai kitab Undang-undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon in adalah Code Civil, yang  dalam  penyusunannya mengambil karangan-karangan pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang hukum Romawi ( Corpus Juris Civilis ), yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsure-unsur hukum kanoniek ( hukum agama Katholik ) dan hukum kebiasaan setempat mempengaruhinya.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam kode Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah penduduk perancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan bertugas membuat rencanna kodifikasi hukum perdata Belanda dengan menggunakan  sebagai sumber sebagian besar “ Code Napoleon “ dan sebagian kecil hukum Belanda Kuno.
Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya ( 5 juli 1830 ) tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan :
1.                     Burgerlijk wetboek ( KUH Sipil )
2.      Wetboek van Koophandel ( KUH Dagang )
3.      Berdasarkan asas koordinasi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi hukum perdata Eropah di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30-4-1847 Staatsblad No. 23 dan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 di Indonesia.
2.      Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia, tahun 1848
KUHS yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr C. J . Scholten Van Oud Haarlem.
Maksud daripada kodifikasi pada waktu itu untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di negeri Belanda aliran kodifikasi adalah daripada aliran kodifikasi yang di Eropah berlangsung secara umum pada akhir abad ke-18; malah pada waktu itu sudah ada Negara-negara yang telah selesai dengan kodifikasinya.
Demikian antara lain Perancis, sesudah 10 tahun bekerja, dalam tahun 1804 telah menyelesaikan kodifikasinya, yaitu kode CIVIL des Francais.
Dinegeri Belanda, stelah merdeka dari penjelajahan prancis, aliran kodifikasi diwujudkan tahun1830 dalam KUHS ( tanggal 5 juli 1830 ) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 januari 1831 ( antara 31 januari dan 1 Februari 1831 ).
Sesudah kodifikasi  itu, setelah pemerintah Belanda mengangkat Mr.C.C. Hagemann sebagai Presiden daripada Mahkamah Agung ( Hooggerechtshof ) di Hindia Belanda dengan catatan, supaya ia  menyesuaikan peraturan-peraturan lama di Hindia Belanda dengan kodifikasi tadi. Dengan demikian ia diwajibkan mengadakan penyelidikan seperlunya, dan ia harus pula mengemukakan usul-usul kepada Pemerintah Belanda.
Teranglah, bahwa ia mendapat perintah istimewa untuk menjalankan persiapan daripada kodifikasi di Indonesia.
Hagemann diangkat pada bulan juli 1830, tapi sampai 1835 tidak dikerjakannya sesuatu apapun juga. Pemerintah hindia Belanda, Gubenur Jenderal J. CH. Baud menegur Hagemann karena kelalaiannya itu pada bulan Agustus 1835 Hageemann 3 bulan kemudian, yaitu tanggal 19 Desember 1835, menjawab, bahwa ia mengakui belum ada yang dikerjakannya sedikitpun tentang tugas itu. Alasan yang dikemukakannya adalah, bahwa tidak memungkinkan berbuat sesuatu karena pengangkatan yang dilakukan itu berkenaan dengan suatu hal bahwa setelah undang-undang  baru Belanda itu dijalankan, di Indonnesia peraturan-peraturan lama masih tetap berlaku, sedangkan sampai tahun 1835 itu dikodifikasi Belanda tadi belum juga berlaku, keadaan mana disebabkan oleh pemberontakan Belgia.
Karena Mr.CC. Hagemann tidak berhasil, sehingga pada tahun 1836 ia ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua mahkamah agung di Indonesia diganti oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Harlem.[2]
Pada 31 Oktober 1837 Scolten Van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Me. C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi, tetapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasikan KUH perdata Indonesia berdasarkan konkordansi yang sempit. Artinya KUH perdata Belanda banyak menjiwai KUH perdata Indonesia karena KUH perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH perdata Indonesia.
Kodifikasi KUH perdata ( BW ) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui staatsblad No.23, dan mulai  berlaku pada 1 januari 1848. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH perdata ( BW ) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya ber konsultasi dengan J. Van de Vine, Directur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berjasa dalam kodifikasi tersebut.
Jadi, hukum perdata pertama kali diperkenalkan  oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht. Hukum perdata disebut juga dengan hukum sipil ( civilrecht ) dan hukum privat ( Privatrecht )[3]

II. 2. Pengertian Hukum Acara Perdata
Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi ada kalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan  hak masing-masing pihak itu tidak melampui batas-batas norma yang ditentukan maka perbuatan hendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan Prosedur yang berlaku.
Menurut Darwan Prints, SH., ( 1992: 1 ) gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan pengadilan. Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para Penggugat, Tergugat atau para Tergugat dan turut Tergugat. Cara menyelesaikan perselisihan lewat pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata ( Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of Procedure ).[4]
Menurut Prof. DR. Wirjono Projodikuro, SH., ( 1970 : 12 ) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannnya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Menurut Prof. Dr.Sudikno Mertokusumo, S.H., hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.[5]
Terdapat pula batasan yang sangat singakat antara hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata: “ Hukum perdata adalah segala ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara warga dari suatu masyarakat atau golongan tertentu mengenai kepentingan pribadi.[6]
Perkataan perdata berasal dari bahasa jawa perdoto dan yang pertama kali mempergunakaknnya sebagai istilah  hukum pribadi, maksudnya hukum perdata adalah Prof. Djojodiguno, perdata sendiri artinya: pertengkaran.[7]
Hukum perdata   merupakan hukum yang mengatur segala hubungan dan sangkut paut para anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dengan peraturan-peraturan hukumnya yang bersifat memaksa untuk ditaati oleh setipa anggota masyarakat, yang menyangkut hubungan antara pihak-pihak yang berkawan atau dengan lawannya, atau antara kita dengan sekutu kita sendiri. Secara singkatnya: “ peraturan-peraturan yang memberi perlindungan atas kepentingan pribadi dalam masyarakat tertentu, terutama yang brtalian dengan hubungan kekeluargaan, lalu lintas hubungan individu dan perjanjian-perjanjian antar individu.
Hukum acara perdata bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Dengan demikian hukum acara perdata pada umumnya tidaklah membebani hak dan kewajiban seperti yang termuat dalam hukum perdata materiil, tetapi, memuat aturan tentang cara melaksanakan dan mempertahankan atu menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materiil, atau dengan perkataan lain melindungi hak perseorangan.
Hukum materiil ( Hukum Acara Perdata ) dinegara Indonesia, baik yang termuat dalam suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan  pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya didalam pergaulan hidup, baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apakah yang dapat ia lakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, “ tidak boleh mencuri barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak boleh berbuat dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa memeperhatikan hak orang lain, dan sebagainya.
Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk ditaati dan dilaksanakan. Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan hukum materiil ini hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah saja dan enak dibaca, tapi, dapat dinikmati oleh warga masyarakat.
Hukum yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan hukum materiil ini, dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan hukum formil atau hukum Acara.
Dari pengertian antara hukum perdata dan hukum acara perdata diatas. Jelas bahwa terdapat hubungan yang erat antara hukum perdata ( hukum Formil )  dengan hukum acara perdata ( hukum materiil ), dimana secara garis besarnya dapatlah diketahui bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan atau menegakkan hukum perdata, sehingga dengan adanya hukum acara perdata ini akan dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Dengan adanya hukum acara perdata, maka diharapkan tindakan menghakimi sendiri ( eigenrichting ) akan dapat dicegah, setidak-tidaknya bisa dikurangi.  [8]
Diharapkan dengan adanya Hukum Acara Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri. Dalam Hukum Acara perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang didepan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum Acara Perdata termasuk dalam ruang lingkup hukum privat ( Private Law ) disamping Hukum Perdata Materiil. Hukum Acara Perdata disebut Hukum Perdata Formal, karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal.[9]
Hukum Acara Perdata dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu Hukum acara Perdata yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan badan pengadilan umum, dan hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Baik hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama, hingga kini masih belum terhimpun dalam satu kodifikasi hukum acara nasional, tetapi terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagaian peninggalan berbagai peraturan perundang-undangan, sebagaian peninggalan colonial Hindia Belanda, sebagaian lainnya dibuat setelah merdeka.
Hukum acara perdata di pengadilan di lingkungan peradilan umum yang berlaku di Indonesia sekarang antara lain termuat dalam:
a)      Herziene Inlandsch Reglemen ( Reglemen Indonesia Baru ) yang berlaku untuk daerah pulau jawa dan Madura.
b)      Burgerlijk Wetboek ( BW ).
c)      Wetboek van Koophandel ( WvK ).
d)     Ordonansi tahun 7867 No. 29:
e)      Undang-undang No. 27 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
f)       Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
g)      Undang-undang No. 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan
h)       Undang-undang No. 2 Tahun 1986
Sedangkan hukum acara perdata yang berlaku di lingkungann pengadilan agama sekarang ini adalah acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum. Kecuali, yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama juga disebut juga dalam:
a.              Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan.
b.             Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
c.              Peraturan Menteri agama No. 1 Tahun 1983 tanggal 6 Januari 1983 tentang pemberitahuan Bantuan Hukum pada Peradilan Agama.
d.             Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal 7 Januari 1983 No. KMA/ 003/SKI /1/1983 dan No.3 Tahun 1983 tentang  Pengawasan terhadap Pemberi Bantuan hukum dan Berbagai macam peraturan Perundang-undangan lain sepanjang belum diganti dengan ketentuan baru berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 serta tidak bergantung dengan Undang-Undang peradilan Agama tersebut.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara termuat dalam Undang-undang No.5 Tahun 1986 tentang Perdilan Tata Usaha Negara, dan seperangkat peraturan pelaksanaannya.[10]


[1] Kansil. C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1989, hlm 209-210
[2] Daliyo, J.B, dkk. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT, Gramedia Pustaka Utama. 1997, hlm 104-105
[3] Titik Triwulan Tutik. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Karya.2006, hlm 211
[4] Darwan Sprints, SH., Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1992,. hlm 1.
[5]  Rasaid. Nur. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika.1996. hlm 2
[6]  Wiryono Projodikuro, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung : Sumur. 1992, hlm 12
[7] Kartasapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap:  Bina Aksara,1988. Hlm 85
[8]  Rasaid. Nur. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika.1996. hlm 3

[9] Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata diLingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada  Media Group, 2008, hlm 2
[10] Titik Triwulan Tutik. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Karya.2006, hlm 205-206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar