Sejarah Hukum Perdata
1.
Kodifikasi Hukum Perdata Belanda, tahun 1830[1]
Sumber
pokok hukum perdata ( Burgerlijkrecht ) ialah kitab Undang-undang Hukum
sipil ( Burgerlijk Wetboek ), disingkat KUHS ( B.W ).
KUHS
sebagian besar adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun
1811-1838; akibat pendudukan Perancis di Belanda, berlaku di Negeri Belanda
sebagai kitab Undang-undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon
in adalah Code Civil, yang dalam penyusunannya mengambil karangan-karangan
pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang hukum Romawi ( Corpus Juris
Civilis ), yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling
sempurna. Juga unsure-unsur hukum kanoniek ( hukum agama Katholik ) dan hukum
kebiasaan setempat mempengaruhinya.
Peraturan-peraturan
yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam kode Civil, tetapi
dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah
penduduk perancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang
diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan bertugas membuat rencanna kodifikasi hukum
perdata Belanda dengan menggunakan
sebagai sumber sebagian besar “ Code Napoleon “ dan sebagian kecil hukum
Belanda Kuno.
Meskipun
penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya ( 5 juli 1830 ) tetapi Hukum
Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan
:
1.
Burgerlijk wetboek ( KUH Sipil )
2.
Wetboek
van Koophandel ( KUH Dagang )
3.
Berdasarkan
asas koordinasi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi hukum
perdata Eropah di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30-4-1847
Staatsblad No. 23 dan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 di Indonesia.
2.
Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia, tahun 1848
KUHS
yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang
diketuai oleh Mr C. J . Scholten Van Oud Haarlem.
Maksud
daripada kodifikasi pada waktu itu untuk mengadakan persesuaian antara hukum
dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di negeri
Belanda aliran kodifikasi adalah daripada aliran kodifikasi yang di Eropah
berlangsung secara umum pada akhir abad ke-18; malah pada waktu itu sudah ada
Negara-negara yang telah selesai dengan kodifikasinya.
Demikian
antara lain Perancis, sesudah 10 tahun bekerja, dalam tahun 1804 telah
menyelesaikan kodifikasinya, yaitu kode CIVIL des Francais.
Dinegeri
Belanda, stelah merdeka dari penjelajahan prancis, aliran kodifikasi diwujudkan
tahun1830 dalam KUHS ( tanggal 5 juli 1830 ) dan akan mulai berlaku jam 12
malam tanggal 31 januari 1831 ( antara 31 januari dan 1 Februari 1831 ).
Sesudah
kodifikasi itu, setelah pemerintah
Belanda mengangkat Mr.C.C. Hagemann sebagai Presiden daripada Mahkamah Agung ( Hooggerechtshof
) di Hindia Belanda dengan catatan, supaya ia menyesuaikan peraturan-peraturan lama di
Hindia Belanda dengan kodifikasi tadi. Dengan demikian ia diwajibkan mengadakan
penyelidikan seperlunya, dan ia harus pula mengemukakan usul-usul kepada
Pemerintah Belanda.
Teranglah,
bahwa ia mendapat perintah istimewa untuk menjalankan persiapan daripada
kodifikasi di Indonesia.
Hagemann
diangkat pada bulan juli 1830, tapi sampai 1835 tidak dikerjakannya sesuatu
apapun juga. Pemerintah hindia Belanda, Gubenur Jenderal J. CH. Baud menegur
Hagemann karena kelalaiannya itu pada bulan Agustus 1835 Hageemann 3 bulan
kemudian, yaitu tanggal 19 Desember 1835, menjawab, bahwa ia mengakui belum ada
yang dikerjakannya sedikitpun tentang tugas itu. Alasan yang dikemukakannya
adalah, bahwa tidak memungkinkan berbuat sesuatu karena pengangkatan yang
dilakukan itu berkenaan dengan suatu hal bahwa setelah undang-undang baru Belanda itu dijalankan, di Indonnesia
peraturan-peraturan lama masih tetap berlaku, sedangkan sampai tahun 1835 itu
dikodifikasi Belanda tadi belum juga berlaku, keadaan mana disebabkan oleh
pemberontakan Belgia.
Karena
Mr.CC. Hagemann tidak berhasil, sehingga pada tahun 1836 ia ditarik kembali ke
negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua mahkamah agung di Indonesia diganti
oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Harlem.[2]
Pada
31 Oktober 1837 Scolten Van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia
kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai
anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru
yang diketuai Me. C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi, tetapi anggotanya
diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. van Nes. Akhirnya panitia inilah
yang berhasil mengkodifikasikan KUH perdata Indonesia berdasarkan konkordansi
yang sempit. Artinya KUH perdata Belanda banyak menjiwai KUH perdata Indonesia
karena KUH perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH perdata Indonesia.
Kodifikasi
KUH perdata ( BW ) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui staatsblad
No.23, dan mulai berlaku pada 1 januari
1848. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH perdata (
BW ) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya ber konsultasi dengan J. Van de
Vine, Directur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berjasa
dalam kodifikasi tersebut.
Jadi,
hukum perdata pertama kali diperkenalkan
oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht.
Hukum perdata disebut juga dengan hukum sipil ( civilrecht ) dan hukum
privat ( Privatrecht )[3]
II. 2. Pengertian Hukum Acara Perdata
Manusia
dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering
menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai,
tetapi ada kalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus
sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam
mempertahankan hak masing-masing pihak
itu tidak melampui batas-batas norma yang ditentukan maka perbuatan hendaknya
sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu
dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat
mengajukan gugutan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan Prosedur yang berlaku.
Menurut
Darwan Prints, SH., ( 1992: 1 ) gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk
menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau
kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui
putusan pengadilan. Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak
Penggugat atau para Penggugat, Tergugat atau para Tergugat dan turut Tergugat.
Cara menyelesaikan perselisihan lewat pengadilan tersebut diatur dalam Hukum
Acara Perdata ( Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of Procedure ).[4]
Menurut
Prof. DR. Wirjono Projodikuro, SH., ( 1970 : 12 ) mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannnya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Menurut
Prof. Dr.Sudikno Mertokusumo, S.H., hukum acara perdata adalah peraturan hukum
yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantaraan hakim.[5]
Terdapat
pula batasan yang sangat singakat antara hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata:
“ Hukum perdata adalah segala ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara
warga dari suatu masyarakat atau golongan tertentu mengenai kepentingan
pribadi.[6]
Perkataan
perdata berasal dari bahasa jawa perdoto dan yang pertama kali
mempergunakaknnya sebagai istilah hukum
pribadi, maksudnya hukum perdata adalah Prof. Djojodiguno, perdata sendiri
artinya: pertengkaran.[7]
Hukum
perdata merupakan hukum yang mengatur
segala hubungan dan sangkut paut para anggota masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat dengan peraturan-peraturan hukumnya yang bersifat memaksa untuk
ditaati oleh setipa anggota masyarakat, yang menyangkut hubungan antara
pihak-pihak yang berkawan atau dengan lawannya, atau antara kita dengan sekutu
kita sendiri. Secara singkatnya: “ peraturan-peraturan yang memberi
perlindungan atas kepentingan pribadi dalam masyarakat tertentu, terutama yang
brtalian dengan hubungan kekeluargaan, lalu lintas hubungan individu dan
perjanjian-perjanjian antar individu.
Hukum
acara perdata bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil.
Dengan demikian hukum acara perdata pada umumnya tidaklah membebani hak dan
kewajiban seperti yang termuat dalam hukum perdata materiil, tetapi, memuat
aturan tentang cara melaksanakan dan mempertahankan atu menegakkan
kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materiil, atau dengan perkataan lain
melindungi hak perseorangan.
Hukum
materiil ( Hukum Acara Perdata ) dinegara Indonesia, baik yang termuat dalam
suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi
seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya didalam pergaulan hidup,
baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apakah yang dapat ia
lakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, “ tidak boleh
mencuri barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak
boleh berbuat dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa
memeperhatikan hak orang lain, dan sebagainya.
Semua
ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya untuk dibaca, dilihat atau
diketahui saja, melainkan untuk ditaati dan dilaksanakan. Oleh karena itulah
maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-undangan yang akan
mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan hukum materiil
ini hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah saja dan enak dibaca, tapi,
dapat dinikmati oleh warga masyarakat.
Hukum
yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan hukum materiil ini,
dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan hukum formil atau hukum
Acara.
Dari pengertian antara hukum perdata
dan hukum acara perdata diatas. Jelas bahwa terdapat hubungan yang erat antara
hukum perdata ( hukum Formil ) dengan
hukum acara perdata ( hukum materiil ), dimana secara garis besarnya dapatlah
diketahui bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan atau
menegakkan hukum perdata, sehingga dengan adanya hukum acara perdata ini akan
dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Dengan adanya hukum acara perdata, maka
diharapkan tindakan menghakimi sendiri ( eigenrichting ) akan dapat dicegah,
setidak-tidaknya bisa dikurangi. [8]
Diharapkan dengan adanya Hukum Acara
Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah
dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri. Dalam
Hukum Acara perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh
masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang didepan sidang pengadilan
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hukum Acara Perdata termasuk dalam ruang
lingkup hukum privat ( Private Law ) disamping Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata disebut Hukum Perdata Formal, karena ia mengatur tentang
proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang
telah ditentukan secara formal.[9]
Hukum Acara Perdata dapat dibedakan
atas 2 macam, yaitu Hukum acara Perdata yang berlaku di pengadilan dalam
lingkungan badan pengadilan umum, dan hukum acara perdata yang berlaku di
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Baik hukum acara perdata yang
berlaku dalam lingkungan peradilan agama, hingga kini masih belum terhimpun
dalam satu kodifikasi hukum acara nasional, tetapi terserak-serak dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, sebagaian peninggalan berbagai peraturan
perundang-undangan, sebagaian peninggalan colonial Hindia Belanda, sebagaian
lainnya dibuat setelah merdeka.
Hukum acara perdata di pengadilan di
lingkungan peradilan umum yang berlaku di Indonesia sekarang antara lain
termuat dalam:
a)
Herziene
Inlandsch Reglemen ( Reglemen Indonesia
Baru ) yang berlaku untuk daerah pulau jawa dan Madura.
b)
Burgerlijk
Wetboek ( BW ).
c)
Wetboek
van Koophandel ( WvK ).
d)
Ordonansi
tahun 7867 No. 29:
e)
Undang-undang
No. 27 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
f)
Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
g)
Undang-undang
No. 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan
h)
Undang-undang No. 2 Tahun 1986
Sedangkan hukum acara perdata yang
berlaku di lingkungann pengadilan agama sekarang ini adalah acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum. Kecuali, yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama. Hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama juga
disebut juga dalam:
a.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan.
b.
Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
c.
Peraturan
Menteri agama No. 1 Tahun 1983 tanggal 6 Januari 1983 tentang pemberitahuan
Bantuan Hukum pada Peradilan Agama.
d.
Keputusan
bersama Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal 7 Januari 1983
No. KMA/ 003/SKI /1/1983 dan No.3 Tahun 1983 tentang Pengawasan terhadap Pemberi Bantuan hukum dan
Berbagai macam peraturan Perundang-undangan lain sepanjang belum diganti dengan
ketentuan baru berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 serta tidak bergantung
dengan Undang-Undang peradilan Agama tersebut.
Hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara termuat dalam
Undang-undang No.5 Tahun 1986 tentang Perdilan Tata Usaha Negara, dan
seperangkat peraturan pelaksanaannya.[10]
[1] Kansil. C.S.T. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1989, hlm
209-210
[2] Daliyo, J.B,
dkk. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT, Gramedia Pustaka Utama.
1997, hlm 104-105
[3] Titik Triwulan
Tutik. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Karya.2006, hlm
211
[4] Darwan Sprints,
SH., Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 1992,. hlm 1.
[6] Wiryono Projodikuro, Hukum Acara Perdata
di Indonesia. Bandung : Sumur. 1992, hlm 12
[7] Kartasapoetra,
Rien G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap:
Bina Aksara,1988. Hlm 85
[8] Rasaid. Nur. Hukum Acara Perdata.
Jakarta : Sinar Grafika.1996. hlm 3
[9] Manan, Abdul. Penerapan
Hukum Acara Perdata diLingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm 2
[10] Titik Triwulan
Tutik. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Karya.2006, hlm
205-206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar