A.
Riwayat
Kehidupan Ismail Al-Faruqi
Prof. Ismail
Raji al-Faruqi dilahirkan di Jaffa (Palestina) pada 1 Januari
1921. Ayahnya bernama 'Abd al-Huda al-Faruqi adalah seorang hakim (Qadli) yang
merupakan seorang yang memiliki agama yang kokoh serta berpendidikan Islam.
Al-Faruqi memperoleh pendidikan agama di rumahnya melalui ayahnya dan melalui
mesjid di dekat tempat tinggalnya. Dia mulai kuliah di Domikia Perancis yaitu
kampus Des Freres (St. Joseph) pada tahun 1936.
[1]
Nama besarnya
tidak bisa dilepaskan dari ide mulia islamisasi sains dan ilmu pengetahuan. Ia
yang memeperjuangkan ide besar tersebut keseluruh dunia islam, mulai dari
Pakistan, India, afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya hingga ke Arab Saudi.
Sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan ( umum ) dan
agama. Beliau penentang yang paling keras dikotomi ilmu pengetahuan umum dan
agama.
Tugas pertama
yang diemban Al-Faruqi adalah sebagai bagian Pencatat pada Masyarakat Kerjasama
(Registrar of Cooperative Societies)
pada tahun 1942 dibawah penugasan dari pemerintahan Inggris di Jerusalem yang
mengantarkannya sebagai Gubernur Distrik Galilee pada tahun 1948. Ketika Israel
menjadi Negara Yahudi pada 1948, Al-Faruqi untuk pertama kalinya bermigrasi ke Beirut, Lebanon, dimana dia
belajar pada American
University of Beirut, kemudian
tahun berikutnya di Pasca Sarjana Indiana
University School of Arts and Sciences, dan
menyelesaikan gelar M.A. pada bidang Filsafat pada tahun 1949. Selanjutnya Ia
diterima masuk di universitas Harvard pada Fakultas Filsafat dan memperoleh
gelas M.A yang kedua pada bidang Filsafat pada tahun 1951, dengan judul thesis Justifying the Good: Metaphysics and Epistemology of Value. Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke
Indiana University; Dia menyelesaikan Thesis pada Fakultas Filsafat dan
menerima gelar Doktor pada bulan September 1952. Bisa dipahami bahwa ia
memiliki pemahaman yang mendalam dengan latar belakang filsafat klasik dan
perkembangan pemikiran tradisional di Barat. Pada awal tahun 1953, Ia dan
istrinya berada di Syria. Kemudian Ia pindah ke Mesir dimana ia belajar di
Universitas Al-Azhar (1954-1958) dan memperoleh gelar doktor yang kedua
kalinya.
Dia merupakan
seorang filosof yang berdarah campuran Palestina – Amerika yang dikenal sebagai
orang yang piawai dalam Islam dan perbandingan agama. Dia menghabiskan waktunya
beberapa tahun lamanya di Universitas Al-Azhar Kairo, kemudian menjadi pengajar
di Amerika Utara termasuk di Universtitas Mc Gill di Montreal. Dia menjadi
professor di bidang Agama pada Universitas Temple, dimana ia mendirikan dan
menjadi pimpinan pada Program Studi Islam. Ia bersama istrinya Lois Lamya
Al-Faruqi ditikam hingga akhirnya meninggal di rumahnya di Kota Wyncote,
Pennysylvania pada 27 Mei 1986.
Prestasi
Ilmiah
Dr. al-Faruqi
merupakan seorang akademisi yang sangat aktif. Selama masa kerjanya sebagai
dosen tamu bidang Studi Islam di Universitas McGill
, sebagai
seorang professor Sudi Islam di Pusat Studi Penelitian Islam di Karachi dan
menjadi dosen tamu pada berbagai Universitas di Amerika Utara. Dia menulis lebih dari 100 artikel untuk berbagai Jurnal kampus
dan majalah, 25 buah buku, diantaranya yang paling popular adalah tentang Christian Ethics: A Historical and
Systematic Analysis of Its Dominant Ideas. Disampig kesibukannya pada semua
aktivitas akademik ini, ia mendirikan Kelompok Studi Islam pada Akademi Agama
Amerika (American Academy of Religion)
dan menjabat sebagai ketua selama 10 tahun. Dia menjabat pula sebagai wakil
Presiden Kolokium Perdamaian Antar Agama (Inter-Religious
Peace Colloqium), Konferensi Islam-Yahudi-Kristen dan sebagai Presiden
Kampus Islam Amerika (American Islamic
College) di Chicago.
Dia menekankan
pada Arabisme sebagai alat untuk menunjukkan identitas Islam dan Muslim. Ia
mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk hal itu melalui kekuatan intelektual,
religius dan estetika. Ia pun menjadi salah seorang pencetus gagasan Islamisasi
Ilmu dan mendirikan Institut Internasional Pemikiran Islam (International Institute of Islamic Thought
- IIIT)[2]
bersama dengan Syekh Taha Jabir al-Alwani, Dr. Abdul Hamid Sulayman mantan
Rektor IIUM (International Islamic University) Malaysia serta Anwar
Ibrahim pada tahun 1980.
Wafatnya
Ismail Al-Faruqi
Al-Faruqi
meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 yang diakibatkan oleh tikaman pisau dari
seorang lelaki yang menyelinap masuk ke dalam rumahnya di Wyncote –
Pennsylvania. Ia bersama istrinya, Louis Lamya, tewas akibat tikaman pisau
lelaki tersebut. Sedangkan putrinya, Anmar al-Zein, berhasil ditolong namun
membutuhkan 200 jahitan untuk menutup lukanya. Para pemuka agama dan politisi
memberikan penghormatan terakhirnya pada pemakaman Al-Faruqi di Washington pada
akhir bulan September. Acara tersebut diselenggarakan oleh panitia untuk
mengenang Al-Faruqi yang dibentuk dari gabungan Dewan Organisasi Arab-Amerika,
Organisasi Masyarakat Islam Amerika Utara, Dewan Nasional Gereja Kristen
Amerika, serta Komite Arab Amerika anti Diskriminasi (ADC).
Pada saat yang
sama, ADC mempublikasikan laporan khusus sebanyak 8 halaman tentang peristiwa
pembunuhan terhadap Al-faruqi, termasuk detail kronologi peristiwa pembunuhan
tersebut serta hasil terakhir investigasi peristiwa tersebut. Laporan
investigasi mengindikasikan peristiwa tersebut merupakan peristiwa percobaan
perampokan, walaupun tidak ada barang yang hilang di rumah Al-Faruqi. Di tengah
maraknya peningkatan insiden dan kekerasan anti-arab dan anti-muslim di masa
tersebut, laporan tersebut juga menyatakan tidak menutup kemungkinan ada motif
politis pada peristiwa pembunuhan tersebut.
Karya-karya
DR. AI-Faruqi
DR. Al-Faruqi
adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan
seratus artikel. Diantara bukunya yang terpenting
adalah: Tauhid :Its Implications for
Thought and Life (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap.
Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari itu,
tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik,
sosial, dan budaya. Dari inilah
kita dapat melihat titik tolak pemikiran Al-Faruqi yang berimplikasi pada
pemikirannya dalam bidang-bidang lain.
Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle
and Workplan (1982), berisi gagasannya yang cemerlang serta patut dijadikan
salah satu rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan.
Didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam proses
Islamisasi tersebut.
Karyanya yang
berhubungan dengan ilmu perbandingan agama cukup banyak, hal ini dapat
dimaklumi karena ia sendiri adalah orang yang ahli dalam perbandingan agama.
Bukunya yang
secara khusus membahas perbandingan agama adalah “Christian Ethics”, “Trilogue
of Abraham Faiths” pada buku ini terdapat tiga topik utama: Tiga agama
saling memandang. Konsep tiga agama tentang negara dan bangsa, konsep tiga
agama tentang keadilan dan perdamaian, masing-masing penyumbang dari Yahudi,
Kristen dan Islam menawarkan prespektif yang jelas mengenai pokok persoalan
berdasarkan tiga topik utama tersebut. Serta buku Historical Atlas of the Region of the World. Dan karyanya yang dianggap monumental adalah
Cultural Atlas Islam, karya ini ditulis bersama istrinya, Louis Lamya AI-Faruqi,
dan diterbitkan tak lama setelah keduanya meninggal.
Tulisan-tulisannya yang lain
seperti The Life of Muhammad
(Philadelphia: Temple University Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961); Particularisme in the Old Testament nd Contemporary
Sect in Judaism (Cairo: League of arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969) (AI-Faruqi,
1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
B.
Pokok-Pokok
Pemikiran Pendidikan DR. AI-Faruqi
DR. Al-Faruqi
banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan
masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu
saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid.
Diantaranya
pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
1)
Tauhid
Masalah yang
terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid,
karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah peng-Esa-an terhadap Allah SWT
yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemurnian Tauhid ini pun telah banyak
dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya dikenal adanya gerakan
wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab.
Menurutnya
kalimat "tauhid" tersebut mengandung dua arti yang pertama
"nafi"
(negatif) dan
kedua itsbat (positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti tidak ada apapun; illallahi (melainkan Allah) berarti yang
benar dan berhak diibadahi hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu
bagi-Nya dan secara tegas di dalam bukunya Kitab At-Tauhid beliau menyebutkan
setiap tahyul, setiap bentuk sihir, melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam
syirik adalah pelanggaran tauhid.
Tetapi tauhid
bukan sekedar diakui dengan lidah dan ikrar akan keesaan Allah serta kenabian
Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan syahadat oleh seorang muslim
mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia ini, namun tauhid yang
merupakan sumber kebahagiaan abadi manusia dan kesempurnaanya, tidak berhenti
pada kata-kata dan lisan. Lebih dari itu tauhid juga harus merupakan suatu
realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam hati.[3]
Tauhid juga
merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia sebagaimana yang
dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal tentang pencipta dan
pelindung alam semesta. Tauhid sebagai pelengkap bagi manusia dengan pandangan
baru tentang kosmos, kemanusiaan, pengetahuan dan moral serta memberikan
dimensi dan arti baru dalam kehidupan manusia tujuannya obyektif dan mengatur
manusia sampai kepada hak spesifik untuk mencapai perdamaian global, keadilan,
persamaan dan kebebasan.
Bagi AI-Faruqi
sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah
Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang
Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada[4].
Tauhid adalah
memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya
bersama-bersama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral
dan organis yang disebut peradaban. Yang dimaksud dengan Tauhid ini mengandung
pengertian dari 4 prinsip dasar, yaitu:
a)
Prinsip
pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, itu berarti bahwa realitas bersifat handa yaitu terdiri dari
tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
b)
Prinsip kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain
Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan
Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau
sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
c)
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan
terakhir alam semeta, berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk
berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan
bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang
membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
d)
Prinsip
keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai
kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat.
Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala
tindakannya.
Keempat
prinsip tersebut di atas di rangkum oleh al-Faruqi dalam beberapa
istilah yaitu
:
a. Dualitas, yaitu realitas terdiri dari
dua jenis: Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan makhluk. Jenis yang pertama hanya
mempunyai satu anggota yakni Allah SWT. Hanya Dialah Tuhan yang kekal, maha
pencipta yang transenden. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Jenis
kedua adalah tatanan ruang waktu, pengalaman, dan penciptaan. Di sini tercakup
semua makhluk, dunia benda-benda, tanaman dan hewan, manusia, jin, dan malaikat
dan sebagainya. Kedua jenis realitas tersebut yaitu khaliq dan makhluk sama
sekali dan mutlak berbeda sepanjang dalam wujud dan ontologinya, maupun dalam
eksistensi dan karir mereka.
b. ldeasionalitas, merupakan hubungan
antara kedua tatanan realita ini. Titik acuannya dalam diri manusia adalah pada
pemahaman. Pemahaman digunakan untuk memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan
dan atas dasar penciptaan Kehendak sang penguasa yang harus diaktualisasikan
dalam ruang dan waktu, berpartisipasi daam aktivitas dunia serta menciptakan
perubahan yang dikehendaki. Sebagai prinsip pengetahuan, tauhid adalah
pengakuan bahwa Allah itu ada dan Esa. Pengakuan bahwa kebenaran itu bisa
diketahui bahwa manusia mampu mencapainya. Skeptesisme menyangkal kebenaran ini
adalah kebalikan dari tauhid.
Sedangkan
sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala
sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas; kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki; ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru
dan atau bertentangan[5].
Implikasi
Tauhid bagi teori sosial, dalam efeknya, melahirkan konsep ummah, yaitu suatu
kumpulan warga yang organis dan padu yang tidak dibatasi oleh tanah kelahiran,
kebangsaan, ras, kebudayaan yang bersifat universal, totalitas dan
bertanggung-jawab dalam kehidupan bersama-sama dan juga dalam kehidupan pribadi
masing-masing anggotanya yang mutlak perlu bagi setiap orang untuk
mengaktualisasikan setiap kehendak Ilahi dalam ruang dan waktu.[6]
Dengan
demikian pentingnya tauhid bagi Al-Faruqi sama dengan pentingnya Islam itu
sendiri. Tanpa Tauhid bukan hanya Sunnah Nabi/Rasul patut diragukan dan
perintah-perintahNya bergoncang kedudukannya, pranata-pranata kenabian itu
sendiri akan hancur. Keraguan yang sama juga akan muncul pada pesan-pesan
mereka, karena berpegang teguh kepada prinsip Tauhid merupakan pedoman dari
keseluruhan kesalehan, religiusitas, dan seluruh kebaikan. Wajarlah jika Allah
SWT dan Rasulnya menempatkan Tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya
penyebab kebaikan dan pahala yang terbesar. Oleh karena begitu pentingnya
Tauhid bagi Islam, maka ajaran Tauhid harus dimanifestasikan dalam seluruh
aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.
Pandangan
dunia tauhid Al-Faruqi sebenarnya berdasarkan pada keinginan untuk
memperbaharui dan menyegarkan kembali wawasan Ideasional awal dari pembaharu
gerakan Salafiyah, seperti: Muhammad ibnu Abdul Wahab, Muhammad Idris
As-Sanusi, Hasan Albanna dan dan sebagainya. Landasan dasar yang digunakan
olehnya ada tiga yaitu: Pertama,
ummat Islam di dunia keadaannya tidak menggembirakan, kedua, diktum yang mengatakan bahwa "Alah tidak akan mengubah
kondisi suatu kaum kecuali mereka mengubah diri mereka sendiri (QS. 13-12)
adalah juga sebuah ketentuan sejarah, ketiga,
Ummat Islam di dunia tak akan bisa bangkit kembali menjadi ummatan wasathan jika ia kembali berpijak pada Islam yang telah
memberikan kepadanya rasio d’etre
empat belas abad yang lalu, dan watak serta kejayaannya selama berabad-abad.
Demikianlah
pemikiran Tauhid Al-Faruqi yang menjadi dasar dalam ontologi dan epistemologi
pemikiran pendidikan islamnya. Untuk selanjutnya, dengan berlandaskan pada
pemikiran Tauhid ini, akan dibahas pemikiran pendidikan Islam tentang gagasan
DR. Al-Faruqi yang terkait dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang
merujuk kepada karyanya Islamization of
Knowledge: the general principles and the Workplan (1986).
2)
Islamisasi
llmu Pengetahuan
Pada
hakekatnya ide Islamization of knowledge
ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide
tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat
digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan Islamisasi ilmu
pengetahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Atas pada
tahun 1397 H/1977 M yang menurutnya diistilahkan dengan "desekularisasi ilmu". Sebelumnya
Al-Faruqi meperkenalkan suatu tulisan mengenai Islamisasi ilmu-ilmu sosial.
Menurut
Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya mengeliminasi unsur-unsur,
konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya
dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi ideologi, makna serta
Islamisasi ungkapan sekuler.
Ide tentang
islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang
tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid dan teologi. Sebagaimana telah
dikemukakan diatas, bahwa tauhid mencakup seluruh fungsi-fungsi ingatan,
khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dan sebagainya. Manakala
kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan kata-kata secara langsung oleh Tuhan
kepada manusia dan sebagai pola dari Tuhan dalam penciptaannya atau juga
"hukum alam". Dan bila kita kaitkan dengan prinsip teologi, artinya
dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu ciptaan yang teratur, bukan chaos.
Di dalam penciptaanya kehendak sang Maha Pencipta selalu terwujud. Pemenuhan
karena kepastian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan
kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat
maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk
menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid
sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga
prinsip: pertama, penolakan terhadap
segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan
dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu
dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas
atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan
sesuatu bagian dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau
sosial, atau pernyataan tentang duniai ini dapat melindungi kaum muslimin dari
opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak
dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
a.
Prinsip kedua, yaitu tidak
ada kontraksi yang hakiki yang melindunginya dari kontradiksi di satu pihak,
dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme.
Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skeptisme; sebab suatu
kontradiksi yang hakiki mengandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing
unsur kontradiksi tidak akan pernah dapat diketahui.
b.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid
sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang
bertentangan, melindungi kaum muslimim dari literalisme, fanatisme, dan
konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum
muslimin kepada sikap rendah hati intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan
dalam penegasan atau penyangkalannya dengan ungkapan wallahu' alam karena ia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang
dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun. Sebagai penegasan dari
keterpaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam sebagai sumber dari
pengetahuan manusia. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan
hasil karya Tuhan. [7]
Hal inilah
yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul gagasan untuk mengislamisasikan
ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide
Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu
pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses
sekulerisasi yang hendak memisahkan kegiatan kehidupan dengan agama yang pada
akhirnya mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai
keagamaan.
Semangat
ilmuwan moderen (Barat) dibangun dengan fakta-fakta yang tidak ada hubungannya
dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuwan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah
yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu
yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilai-nilai keTuhanan. Dampak yang
kemudian muncul adalah ilmu dianggap netral dan penggunaan ilmu tadi tak ada
hubungannya dengan etika.
Menurut
Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal
dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme
antara kultural dan religius. Karenanya diperlukan upaya islamisasi ilmu
pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari prinsip Tauhid yang telah
dijelaskan sebelumnya. Islamisasi pengetahuan itu sendiri berarti melakukan
aktivitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya
menurut sudut pandang ilmu terhadap kehidupan manusia.[8]
Menurut
AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu
pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sosial, dan
sains-sains ilmu alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang
dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga
sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah.
Hingga sejauh
ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia,
keterkaitan umat manusia dan penciptaan alam semesta dan ketundukan manusia
kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan menentukan
persepsi dan susunan realita.[9]
Dalam rangka
membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Faruqi
menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai
disiplin-disiplin moderen
2. Menguasai
khazanah Islam
3. Menentukan
relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen
4. Mencari
cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah
Ilmu pengetahuan moderen.
5. Mengarahkan
pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan
Tuhan.
Untuk
merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan
langkah-langkah yang perlu dilakukan, yaitu memadukan sistem pendidikan Islam
dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim baru
yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistim-sistim
terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat
untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya
buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan
peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang
sekuler.
Dengan
perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang
bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistim Islam menjadi
pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari,
sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam
kerangkan sistim Islam[10].
DR. Al-Faruqi
dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan menganjurkan untuk
mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian
dari program pembelajaran pada siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa
yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan
kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan
mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah. Bagi
AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuwan muslim. Karena menurutnya apa yang
telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah
tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna
dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk
pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat
melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan
kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi
dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah atau kesatuan ummat.
Untuk
mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus
dilakukan diantaranya adalah:
a. Penguasaan
disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat
kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori,
prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema.
Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil
uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis,
menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin
ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei
disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus
ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta
pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa
membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini
bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di
dunia Barat.
c. Penguasaan
terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama.
Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah ontologi warisan pemikir muslim yang
berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan
terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika ontologi-ontologi telah
disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif
masalah-masalah masa kini.
e. Penentuan
relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan
dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama,
apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga
pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup
dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua,
seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah
diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga,
apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali
tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus
mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian
kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia
harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g. Penilaian
krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang
kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h. Survei
mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus
dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural,
moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei
mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini
difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa
kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan
sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk
menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam
harus disambungkan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan
tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah
dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan
kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan
disiplin moderen telah dicapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk
menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam terbitan Islam.
l.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut
diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah
dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai
ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan
masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang
membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya
pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan[11].
Dari
langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya
bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuang kembali
seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana kerja
islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai
pihak, walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang
menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT.
Dan tidak sedikit pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan
oleh cendikiawan lainnya seperti Fazlur Rahman, yang melihat merupakan proyek
yang sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu
pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar
tidak menimbulkan kerancuan. Sebagian fakta berpendapat bahwa pemikir liberalisme
Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasan Hanafi atau Arkoun dapat dianggap
sebagai bentuk pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara kelompok lain
menolaknya seperti, IIIT bahkan mereka mengkritik pemikiran yang dikemukakan
oleh orang tesebut.
Salah seorang
yang memberikan tanggapan atas gagasan DR. Al-Faruqi adalah Fazlur Rahman, ia
tidak sependapat dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, menurutnya yang
perlu dilakukan adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki
kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Adapun menurut Djamaluddin Ancok
dan Fuad Nashiru sependapat dengan Al-Faruqi, karena menurutnya seorang pemikir
akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya (atau ilmuan yang
mendidiknya). Kalau seorang mempelajari ilmu yang berbasis sekularisme, maka
sangat mungkin pendangan-pandangan juga sekuler.[12]
Adapun
penanggap lain adalah Ziauddin Sardar. Ia menyepakati gagasan yang dikemukakan
AI-Faruqi. Namun, menurutnya gagasan Al-Faruqi mengandung cacat fundamental.
Sardar mengisyaratkan bahwa langkah Islamisasi yang khas terhadap
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan moderen bisa membuat kita terjebak ke dalam westernisasi Islam. Sebabnya menurut
Sardar adalah AI-Faruqi terlalu terobsesi untuk merelevankan Islam dengan ilmu
pengetahuan moderen. Upaya ini dapat mengantarkan pada pengakuan ilmu Barat
sebagai standar, dan dengan begitu upaya islamisasi masih mengikuti kerangka
berfikir (made of thought) atau
pandangan dunia (world view) Barat.
Karena itu, menurut Sardar, percuma saja kita melakukan islamisasi ilmu kalau
semuanya akhirnya dikembalikan standanya pada ilmu pengetahuan Barat.
Terlepas dari
semua polemik yang terjadi diseputar islamisasi ilmu pengetahuan, sebetulnya
islamisasi ilmu pengetahuan yang dimunculkan Al-Furuqi, sebenarnya sederhana
saja. Para pendukung ide ini ingin menekankan muatan dimensi moral dan etika
dalam batang tubuh ilmu pengetahuan seperti yang dipesankan Al-Qur'an.[13]
DR. AI-Faruqi
memandang bahwa untuk membangun umat tidak dapat dimulai dari titik nol dengan
menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malahan
harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil peradaban yang sudah ada
dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang mendasari peradaban itu
harus ditambah dengan tata nilai baru yang serasi dengan hidup ummat Islam
sendiri yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah.
AI-Faruqi
melihat hanya dengan cara seperti ini visi tauhid yang telah hilang akan dapat
kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok
pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya
dalam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari uraian
diatas dapat dilihat bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini lahir karena
AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan karena ingin memurnikan
ajaran tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus diterima
secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul karena melihat
kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran yang
disebabkan oleh kolonialisme Barat.
[1]
Herry Mohammad,dkk. Tokoh-Tokoh Islam Yang
Berpengaruh Pada Abad 20. Jakarta Gema Insani, 2006, hlm 209.
[2]
Herry Mohammad,dkk. Tokoh-Tokoh Islam
Yang Berpengaruh Pada Abad 20. Jakarta Gema Insani, 2006, hlm 210.
[3]
Muhammad Taqi, Misbah,. Monoteisme Tauhid sebagai sistem Nilai dan Akidah Islam. Terjemahan oleh
M.Hashem dari At Tauhid or Monotheisme: asin the ideological and the value
Systems of Islam. Jakarta: Lenterabastitama, 1996, hlm.34
[4] Al-Faruqi,
Tauhid: Its Implementations for thought
and life. Wynccote USA: The International Institute of Islamic Thought,
1982, hlm. 17.
[5]
Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and
life. Wynccote USA: The International Institute of Islamic Thought, 1982,
hlm. 42-43.
[6] Al-Faruqi,
Tauhid: Its Implementations for thought
and life. Wynccote USA: The International Institute of Islamic Thought,
1982, hlm. 102
[7]
Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general
principles and the workplan dalam Knowledge for what? Islam abad. Fakistan: National Hijra Council, 1986, hlm.45.
[8]
Imanuddin Khalil, Pengantar Islamisasi Ilmu pengetahuan dan
Sejarah. Jakarta: Media Dakwah, 1994, hlm 40
[9]
Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general
principles and the workplan dalam Knowledge for what? Islamabad-Fakistan:
National Hijra Council, 1986, hlm.34
[10]
Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general
principles and the workplan dalam Knowledge for what? Islamabad-Fakistan:
National Hijra Council, 1986, hlm.27.
[11]
Al-Faruqi. Islamization of knowledge: the general
principles and the workplan dalam Knowledge for what? Islamabad-Fakistan:
National Hijra Council, 1986, hlm.61.
[12] Djamaluddin Ancok, dan Suroso, Nashuri, Fuad.
Psikologi Islam, solusi Islam atas
Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm.14.
[13] Abdullah Amin, Filsafat kalam Di
Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995, hlm 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar