- Islam
Menjamin Politik Yang Adil
Politik yang adil
dalam setiap umat adalah mengatur urusan dalam negeri dan luar negeri dengan
sistem dan peraturan yang menjamin keamanan terhadap individu dan golongan
serta asas keadilan di antara mereka, merealisasikan kemaslahatan,
menghantarkan mereka agar lebih maju dan mengatur hubungan dengan orang lain.
Islam menjamin
politik ini, agar dasar-dasar islam dijadikan acuan sistem asas keadilan,
merealisasikan kemaslahatan manusia di setiap zaman dan tempat. Hal itu
terdapat dua bukti : pertama, bahwa dasar dan sumber utama islam adalah
al Qur’an, meskipun al Qur’an tidak menjelaskan sistem secara rinci, tetapi
menetapkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah kulli. Tentang sistem mengatur urusan
umat dalam pemerintahan, kaidah-kaidah ini relevan pada situasi dan kondisi
yang bersifat majemuk, karena setiap umat berusaha dan menuntut suatu
kemaslahatan.
Sistem hukum
tersebut tidak di rinci oleh al Qur’an dengan sistem yang konkrit dalam
pemerintahan, dan juga tentang sistem kedaulatan serta memiliki wakil-wakil
rakyat (DPR), akan tetapi al Qur’an hanya mensinyalir dasar-dasar yang harus di
pegangi oleh setiap pemerintahan demi mencapai keadilan dan supaya umat manusia
tidak berpecah belah, dan konsep keadilan itu sudah di tegaskan dalam firman
Allah.
” Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat” . ( AL- Nisa, 58 ).
Konsep asas musyawarah seperti firman Allah :
Artinya : ” Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[1]. Kemudian apabila kamu
Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya ”. (Ali imran, 159)
Asas persamaan
seperti firman Allah :
Artinya
: ” Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat” (Al Hujurat, 10)
Selain dasar-dasar
ini, tentang sistem yang tidak disinyalir di atas, supaya para pemimpin membuat
sistem tersebut dan membentuk pemerintahan, serta menjadikan majelis
pemerintahan itu relevan dan sejalan dengan kemaslahatan tanpa melampui batas
asas keadilan musyawarah dan asas persamaan.
Dalam
undang-undang pidana islam tidak membatasi ketentuan-ketentuan hukuman kecuali
pada lima golongan yang melanggar hukum pidana yaitu :
a.
Orang yang memerangi
agam islam
b.
Orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi
c.
Membunuh tanpa hak
d.
Menuduh zina
e.
Laki dan wanita berzina
dan mencuri.
Sedangkan
semua tindakan kriminal. Seperti tindakan pidana dan pelanggaran-pelanggaran
hukumnya tidak di tentukan, akan tetapi pemimpin harus membuat hukuman itu
untuk menjaga stabilitas keamanan dan sesuatu yang tidak di inginkan karena
ketetapan hukum ini sangat berbeda-beda menurut situasi dan kondisi lingkungan
setempat, maka bagi pemimpin umat harus menetapkan aturan hukum yang relevan
dengan umat menurut petunjuk Allah bahwa dasar umu adalah hukuman itu harus
seimbang dengan tindakan pelanggaran, sebagaimana Allah SWT berfirman :
Artinya : ”
Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu[2].
akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar ”. (An Nahl, 126).
Dan firman Allah :
Artinya : ”Bulan Haram dengan bulan haram[3],
dan pada sesuatu yang patut dihormati[4],
berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah
dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa ”. (Al-Baqarah,194)
Dalam
undang-undang perdata (muamalah) dalam nash al Qur’an hanya cukup mensinyalir
adanya tuntutan kebutuhan, menolak bahaya, menghalalkan jual beli, ijaroh,
gadai, dan masalah perdata lainnya, dan Allah mengisyaratkan dasar yang harus
di pegangi dalam mu’amalah tersebut yaitu asas kerelaan sebagaimana firman
Allah :
Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu[5];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An Nisa’,29).
Adapun
hukum secara rinci dalam muamalah ini hendaknya dibuat oleh para pemimpin dan
tidak mengesampingkan asas kerelaan.
Al-qur’an
hanya mensinyalir larangan muamalah yang menimbulkan persengketaan dan
permusuhan. Allah swt mengharamkan riba dan judi karena ada unsur mudharat. Dan
al-qur’an tidak merinci hukum juz’i dalam muamalah supaya dibentuk sendiri
dengan melihat lingkungan yang relevan dengan mereka.
Dalam
masalah politik luar negeri al-qur’an menetapkan secara global ( mujmal )
antara hubungan umat islam dengan lainnya. Sebagaimana firman Allah:
”
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memrangi karena agama dan tidak ( pula ) mengusir kamu
dari negerimu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (
orang lain ) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan.
Maka mereka itulah orang-orang yang zalim ”. ( Al-Mumtahanah 8-9 ).
Al-Qur’an
tidak menerangkan secara rinci tentang urusan umum seperti ini, dan
ketidaklengkapan ini ternyata ada hikmahnya, yaitu untuk memudahkan setiap umat
membuat sistem sendiri yang sesuai dengan lingkungan mereka, dan tuntutan
kemaslahatan, supaya umat islam tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
Bukti
esensi kedua adalah bahwa islam telah
mengidentifikasikan masalah hukum, bahwa tujuan pokok hukum islam adalah untuk
merealisasikan asas kemaslahatan umat manusia serta menolak bahaya, adapun
maksud islam menegakkan prinsip keadilan diantara manusia dan mengantisipasi
permusuhan diantara mereka adalah sebagai bukti nyata dari realisasi hukum
islam yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt seperti dalam firman-Nya.
”
Dan dalam qishash itu ada ( jaminan kelangsungan ) hidup bagimu. ( Al-baqarah,
179 ).
Dan
firman-Nya:
Artinya
: ” Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (
Al-Maidah, 91 )
Dan
sabda Nabi Muhammad SAW ketika mmelarang menjual buah kurma dan belum nampak
baik, ” apakah kamu melihat bila allah SWt melarang menjual buah kurma salah
seorang diantara kalian mengambil harta saudaranya ” bahkan sebenarnya dalam
masalah ritual terdapat indikasi yang mempunyai maksud untuk memperbaiki keadaan manusia, seperti firman Allah SWT
tentang hikmah salat:
” sesungguhnya shalat
itu mencegah dari ( perbuatan – perbuatan ) keji dan munkar. ( Al-ankabut, 45 )
Dan
hikmah puasa :
” agar kamu bertakwa. ( Al-Baqarah, 183 )
Dan
hikmah zakat :
” Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendo’alah untuk mereka”. ( At-taubah, 103 )
Dalam
Haji :
Artinya : ”
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka
menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan[6]
atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak[7].
Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir ”.
Dan Firman Allah :
” Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu ”. ( Al-Baqarah, 185 )
Dan firman-Nya :
” dan dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (
Al-hajj, 78 )
Dan sabda Rasulullah SAW: ” tidak boleh membuat
madharat dan tidak ada kemadharatan.” dan sabdanya ” saya diutus dengan sifat
yang penuh toleran. ”
Apabila tujuan dan maksud itu memperbaiki keadaan
manusia, menegakkan keadilan, prinsip kemudahan, menghilangkan kesulitan, maka tidak
ragu lagi bahwa islam menjamin politik yang adil, dan di dalam prinsip-prinsip
islam mengehendaki kemaslahatan dan tidak mengesampingkan untuk mengatur urusan
pemerintahan.
- Politik Hukum Islam Di Indonesia
Sebagai mayoritas berpenduduk Muslim, maka islam
telah, sedang dan terus memainkan peranannya sesuai proses-proses sosial dan
politik. Meskipun peranan itu ditunjukkan dalam dimensi yang berbeda-beda.
Dalam dinamika sosial politik. ” mitos Kemayoritasan ” ternyata tidak serta
merta membuat politik islam dengan mudah ” memenangkan ” pergulatan dalam
mengisi ruang dan dimensi hukum di republik ini. Namun sebaliknya justeru
secara sosio politik mendapat perlawanan dan cenderung termajinalkan atau
setidak-tidaknya berada dalam tekanan kendali politik elite penguasa yang
mengutamakan pendekatan plularisme dan modernisasi pembangunan. Deliar Noer
mengatakan bahwa komunitas komunitas muslim berada dalam tekanan politik,
bahkan tidak berlebihan dikatakan menjadi ” bulan-bulanan” kepentingan politik
penguasa, dan tentu saja berpengaruh besar bagi perkembangan politik hukum
islam di Indonesia.
Konflik antara islam dan politik ( agama dan
negara ). Baik dalam tataran politik maupun disekitar wacana keislaman dan
implementasi nilai-nilainya telah berlangsung cukup lama. Disatu pihak, ada
aspirasi rakyat yang menghendaki implementasi syari’at islam, sedang dipihak
lain, pemimpinnya cenderung menjalankan politik sekular dan mendapat dukungan
dari sebagian kecil masyarakat, tetapi secara politik sangat kuat. Kondisi ini
menurut Cederroth sebagaimana dikutip Rusli Karim, membuat Islam di Indonesia
nyaris sebagai ” penggembira politik ”.
Persoalan hukum islam dalam tataran sosio-politik
adalah hal yang sensitif bagi umat islam. Karena itu hukum islam dalam
kebijakan politik merupakan kajian yang penting dan menarik untuk melihat
format politik hukum islam di indonesia masa rezim orde baru. Studi politik
hukum islam di indonesia sama artinya memeperbincangkan kepentingan mayoritas
masyarakat indonesia yang nota-bene-nya adalah masyarakat muslim ( moslim
societies ), yakni menyangkut kepentingan hukum sebagian besar rakyat
indonesia.
Hukum islam sebagai sinonim fikih, merupakan
norma-norma hukum hasil interpretasi dari syari’ah oleh para ulama ( mujtahidin ). Karena
sebagai hasil pengerahan kemampuan ijtihad para mujtahid, maka konsekwensi
logis adanya beberapa aliran pemikiran atau mazhab mengenai hukum islam,
seperti mazhab Syafi’i. Hanafi, Maliki, Hambali.
Dalam sebuah kaedah fiqh disebutkan; ” berubahnya
hukum disebabkan oleh berubahnya waktu dan tempat. ” kaedah ini menyiratkan
arti bahwa hukum islam senantiasa berintegrasi dengan situasi dan lingkungan
yang mengitarinya. Hukum islam yang lahir dan berkembang disuatu tempat dan
waktu tertentu akan mempunyai ciri dan karakter tersendiri sesuai situasi dan
tempat berkembang sebagaimana diantaranya dikenal qaul qadim dan qaul jadid.[8]
Tiada negara tanpa politik hukum. Perbedaannya
hanya dalam konteks pengelolaan. Ada yang menyusun secara berencana dan sistematis politik hukumnya. Politik
hukum seperti ini biasanya dijalankan
oleh negara-negara dengan sistem perencanaan ( planning states ) untuk
menyusun tata hukumnya baik atas pertimbangan perubahan sosial politik.
Bagi negara-negara yang telah memiliki sistem hukum yang mapan, asas dan kaidah
hukum pokok telah tersusun, politik hukum dijalankan secara lebih sederhana
yaitu lebih dikaitkan pada perubahan hukum pokoknya ( the basic law ). Politik
hukum ini dapat dilakukan melalui program-program tahunan yang mengikuti perkembangan
politik, ekonomi, social, budaya yang terjadi dari satu kurun waktu ke waktu.[9]
Sebagai kerangkan dasar kebijakan politik hukum
di indonesia adalah pancasila dan UUD 1945. Dalam penjelasan UUD 1945
dinyatakan bahwa indonesia negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat )[10]
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka ( machtsstaat )[11]
jika dikaitkan dengan penjelasan ini
dengan pasal 29 ( 1 ) UUD 1945 yang berbunyi : ” Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, ” maka negara hukum yang dimaksud berbeda dengan
konsep negara hukum yang berkembang di Barat, yang meminggirkan posisi agama
dari wilayah hukum ( sekuler ). Oleh karena persoalan hukum bukan hanya urusan
manusia semata, melainkan terkait erat dengan urusan Allah. Maka konsep negara
hukum yang dimaksud oleh UUD 1945 adalah negara yang tak terpisah oleh agama.[12]
Meskipun dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 digunakan istilah
Rechsstaat, namun konsep rechsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan
konsep negara Barat ( Eropa Kontinental 0 dan bukan pula konsep rule of law
dari Anglo-Saxon, melainkan konsep yang bercirikan;
1. Adanya hubungan yang erat
antara agama dan negara
2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa
3. Kebebasan agama dalam arti
positif
4. Ateisme tidak dibenarkan dan
komunisme dilarang; serta
5. Asas kekeluargaan dan kerukunan
Sementara negara hukum yang dimaksud mempunyai unsur-unsur pokok:
1. Pancasila
2. MPR
3. Sistem konstitusi
4. Persamaan
5. Peradilan bebas
Negara hukum dalam konteks indonesia mempunyai
spesifikasi tersendiri. Karena pancasila diposisikan sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum
Indonesia dapat dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam
negara hukum Pancasila menurut Oemar Seno Adji[13]
dan Padmo Wahyono[14]
ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama.
Negara berdasar atas hukum yang berfalsafah
Negara pancasila melindungi agama dan penganutnya; bahkan berusaha memasukkan
ajaran agama dan hukum agama dalm kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad
Hatta ( proklamator ) menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum RI, Syari’ah
Islam yang berdasarkan Al-qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan
perundang-undangan Indonesia.[15]
Sehingga orang islam mempunyai sistem syari’ah yang sesuai dengan kondisi
Indonesia atau dalam bahasa Hasbi Ash-Shidiqy dengan Fiqh Indonesia.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, telah
disepakati pancasila sebagai grundnorm
( norma dasar ) atau source of law. Pancasila sebagai dasar negara dan hukum
dasar, memposisikan agama dan hukum agama pada kedudukan yang sangat
fundamental disamping mengandung asas kemerdekaan memluk dan mentaati agama masing-masing.
Karena itu bentuk hukum nasional Indonesia adalah unifikasi hukum bagi bidang
hukum yang agama memberikan ajaran dan ketentuan. Grundnorm di atas kemudian
diimplementasikan secara struktural dalam UUD 1945.
[1] Maksudnya: urusan peperangan
dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan
dan lain-lainnya.
[2] maksudnya pembalasan yang
dijatuhkan atas mereka janganlah melebihi dari siksaan yang ditimpakan atas
kita.
[3] kalau umat Islam diserang di
bulan Haram, yang Sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, Maka
diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga.
[4] maksudnya antara lain ialah:
bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram
(Mekah) dan ihram.
[5] larangan membunuh diri sendiri
mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti
membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
[6] Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan
hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
[7] yang dimaksud dengan binatang
ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing
dan biri-biri.
[8] Abdul
Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005. Hlm 44
[9] Abdul
Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia. Ciputat : ciputat Press, 2005, hlm 102
[10] Ada
empat prinsip rechtsstaat, sebagai mana dikemukakan M.Scelthema yaitu kepastian
hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintahan yang melayani kepentingan umum
akan dijadikan acuan utama.
[11] Dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Negara hukum . istilah ini lahir dari
konsep hokum yang diterapkan di Eropa continental. Istilah lain dikenal dengan
rule of law yang digunakan di Negara-negara yang menganut common law.
[12] Abdul Hakim, Politik Hukum Islam. Ciputat :
Ciputat Press. 2005. Hlm, 103
[13] Oemar
Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta; Erlangga, 1980, hlm. 24-58
[14] Padmo
Wahyono, “ Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, “ Jakarta: Makalah, September
1988
[15] Bung Hatta, Memori, Jakarta; Tintamas, 1982,
hlm. 460.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar