A. Aliran Etika Idealisme
Istilah idealisme berasal dari bahasa Gerika ( Yunani ), yaitu dari kata
“ idea “, yang secara etimologis berarti; akal, pikiran, atau sesuatu yang
hadir dalam pikiran, atau dapat juga disebut sesuatu bentuk yang masih ada
dalam alam pikiran manusia.[1]
Pada pokoknya aliran ini
sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia, sebab akal pikiran manusia
inilah yang menjadi sumber ide.
Pengertian idealisme yaitu
meliputi sejumlah besar sistem serta aliran kefilsafatan yang memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang besar antara yang satu dengan yang lain. Ciri
pengenalan umum yang menunjukkan kesamaan yang dipunyai oleh sistem-sistem
aliran-aliran tersebut ialah bahwa semuanya mengajarkan tentang pentingnya jiwa
atau roh.
Menurut idealisme manusia pada
dasarnya merupakan makhluk rohani. Sebuah contoh yang jelas mengenai idealisme
ialah filsafat Hegel, yang menurut pendiriannya kenyataan berupa ide, roh akal
atau pikiran. Maka menurut idealisme, nilai serta harkat manusia didasarkan atas
kenyataan bahwa ia merupakan wahana roh dan berhakekat kejiwaan.[2]
Paham ini menganggap bahwa roh
mempunyai kekuasaan yang besar, dan berpendapat bahwa dalam bapak terakhir
bukan hanya manusia, melainkan kenyataan yang didalamnya ia hidup dan ikut
ambil bagian ditentukan oleh faktor-faktor rohani. Tetapi, penganut-penganut
paham ini jarang ada yang berpendapat bahwa kenyataan tersebut semata-mata
ditentukan oleh faktor-faktor rohani, pada umumnya mereka menerima suatu
dualisme, yaitu dualisme antara roh dan alam, antara kerohanian dan
kejasmanian, namun senantiasa menganggap roh mempunyai nilai tertinggi serta
kekuatan besar.
Maka dari itu, ada macam-macam
pengelompokan. Namun pengelompokan yang paling tinggi berfaedah bagi tujuan
yang hendak dicapai agaknya ialah pengelompokan yang didasarkan atas perbedaan
dalam kemampuan rohani yang diutamakan, yaitu apakah pikiran, perasaan, ataukah
kehendak. Dengan demikian macam-macam pengelompokan aliran idealisme dibagi
menjadi tiga, yaitu Idealisme Rasionalistik, Idealisme Estetik, Idealisme
Etik. [3]
1. Idealisme
rasionalistik
Bahwa dengan menggunakan
pikiran dan akal, manusia berusaha mengenal norma-norma bagi perilakunya, dan
dengan demikian dapat sampai pada pemahaman tentang mana yang baik dan mana
yang buruk , dan sebagai akibatnya dapat memahami apa yang boleh dikerjakan dan
apa yang tidak boleh dikerjakan. Didalam sejarah etika pendapat semacam itu
berkali-kali ditemukan dalam salah satu
bentuknya. Umpanya semboyan kaum Stoa bahwa kita harus hidup dengan alam. Alam
disini diartikan sama dengan akal budi, maka maksud semboyan tersebut adalah bahwa manusia hidup dengan memakai akal
budinya
Karena akal tidak dapat
menetapkan tujuan bagi perbuatan, penetapan tujuan ini harus dilakukan secara
lain. Manakala sekali tujuan telah ditetapkan, maka akallah yang yang bertugas
menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Pikiran
hanya menunjukkan sarana-sarana . bukan tujuan perbuatan.Etika rasionalistik
memberikan seakan-akan tujuan yang diterapkan nya diperoleh secara akali dalam
kenyataan yang sebenarnya diperoleh secara lain.
2. Idealisme Estetik
Yang lebih tersebar luas
dibandingkan dengan rasionalistik atau rasionalisme ialah idealisme estetik
atau estetisisme dalam etika. Paham ini hendak mendekatkan perbuatan susila
pada seni, dalam hal ini keinsyafan kesusilaan seakan-akan menjadi masalah
citarasa. Tidaklah mengherankan jika para penganutnya sangat menghargai seni,
khususnya keindahan, dan menganggap pemberian bentuk estetik sebagai hal yang
sangat penting. Namun, ciri pengenal estetisisme ialah pendiriannya bahwa
dunia, kehidupan, dan khususnya kehidupan manusia dipandang sebagai karya seni.
Dunia ini merupakan ” kosmos ”, yang secara harfiah berarti kehidupannya juga
merupakan karya seni atau setidak-tidaknya dapat menjadi karya seni.
3. Idealisme Etik
Idealisme etik bertolak dari
kenyataan kesusilaan, dan atas dasar tersebut menyusun pandangannya tentang
dunia dan tentang kehidupan. Paham ini mengakui adanya lingkungan norma-norma
moral yang berlaku bagi manusia dan yang menuntut manusia untuk mengujudkannya.
Pertama-tama manusia itu dipandangnya sebagai makhluk susila, artinya, sebagai
makhluk yang mempunyai keinsyafan akan baik dan buruk, dapat mengerjakan yang
baik dan tidak mengerjakan yang buruk. Namun mengalami juga adanya kekuatan penentang
yang besar yang terdapat di dalam maupun di luar dirinya, yang sedikit banyak
dapat dikalahkannya. Sementara itu paham ini berpendirian bahwa di dalam
semuanya itu terletak nilai dan harkat manusia. Sebuah contoh megah dari
idealisme semacam ini adalah ajaran Kant, yang intinya berupa ajaran tentang
imperatif kategorik, amar wajib tanpa syarat, amar ”dikau wajib” yang mutlak,
namun yang didalamnya tersisa juga empat bagi ”keburukan radikal” yang terdapat
dalam diri manusia, meskipun dalam babak terakhir hal ini megacu kepada alam
kekebebasan.
Idealisme semacam ini juga
dianut oleh orang-orang lain dalam bentuk yang lain. Menurut mereka tidaklah
perlu bahwa umar tersebut, seperti yang diajarkan Kant, tetap bersifat formal
dan tanpa isi; ada pula idealisme etik yang mengakui norma-norma tertentu.
Salah satu contoh adalah etika nilai yang telah dipaparkan di depan, yang
didalamnya norma-norma moral dijabarkan dari nilai-nilai kesusilaan yang
berlaku, seperti, misalnya, keadilan, keberanian, dan sebagainya. Dalam
hubungan ini kita juga ingat idealisme dalam arti yang umum sehari-hari.
Penggunaan bahasa sehari-hari mengartikan kata ”idealisme” sebagai sesuatu
keyakinan akan ada idaman-idaman yang bersifat pribadi dan kemasyarakatan, yang
sepenuhnya mempengaruhi manusia serta menunututnya akan dijelmakan. Dengan
demikian idaman-idaman.tersebut menghendaki agar manusia mengujudkannya.
Sementara itu pengujudan tersebut hanya dapat terjadi dengan kerja keras,
perjuangan serta pengorbanan, dan karenanya biasanya hanya sebagian yang
berhasil. Namun demikian usaha yang sungguh-sungguh itu sendiri sudah
memberikan makna serta isi kepada kehidupan, karena dalam hal ini yang penting
bukanlah berhasil-tidaknya, melainkan usahanya itu sendiri.
Ditinjau dari segi etika,
bentuk idealisme ini mempunyai kenertan-keberatan yang paling sedikit. Hal ini
dapat dimengerti, karena paham ini bertolak dari gejala kesusilaan dan
benar-benar memandangnya apa seperti apa yang kita lihat. Bhawasanya ada juga
bahaya-bahaya yang mengancamnya, telah kita saksikan setelah kita menunjukkan
segi-segi yang berbahaya yang melekat pada etika wwajib murni. Bahaya lain yang
mengancamnya ialah bahwa idealisme etik dengan mudah bersikap terlampau
optimistik.
Paham ini melebih-lebihkan
kekuasaan cita-cita terhadap kenyataan serta meremehkan kekuatan-kekuatan
penentang terhadap dalam kenyataan berupa manusia. Juga dipertanyakan apakah
paham ini selalu mempunyai perhatian yang cukup terhadap kenyataan bahwa manusia
membutuhkan kekuatan agar dapat menggali
sumber kekuatan yang diperlukan itu. Bahkan dapat pula dipertanyakan dari
manakah asal mula cita-cita itu; apakah ada sesuatu atau seseorang yang menetapkannya atau apakah cita-cita
tersebut tidak menentu melayang-layang di atas kenyataan? Akhirnya dapat pula
disjukan pertanyaan apakah idealisme sudah cukup memperhitungkan bahwa manusia
dapat juga mengalami kegagalan dan apakah paham ini cukup dalam dirembesi oleh
sikap yang mengaruskan pemberian maaf.
Keberatan-keberatan itu untuk
sebagain dapat diatasi didalam idealisme; misalnya, ada idealisme yang sangat
menyadari mengenai adanya jarak Pemisah yang lebar antara idaman dengan
kenyataan. Untuk sebagian yang lain keberatan-keberatan bersal dari pandangan
dunia serta pandangan hidup yang idealistik, yaitu yang berasal dari pandangan
dunia serta pandangan hidup yang
bersifat keagaman. Keberatan-keberatan tersebit terutama tidak menyangkut
pandangan yang dipunyai oleh idealisme mengenai gejala kesusilaannya sendiri,
melainkan menyangkut pendiriannya mengenai latar belakang serta landasan yang
dipunyai oleh paham ini. Dalam hal ini keberatan-keberatan tersebut mungkin
cukup besar.
Aliran idealisme dipelopori
oleh Immanuel Kant ( 1724-1804 ) seorang yang berkebangsaan Jerman. Pokok-pokok
pandangan etika Idealisme dapat disimpulkan sebagai berikut:[4]
1) Wujud yang paling
dalam dari kenyataan ( hakikat ) ialah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada
prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar “ kemauan
sendiri “ atau “ rasa kewajiban “. Sekalipun diancam dan dicela orang lain,
perbuatan baik itu dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban yang bersemi
dalam rohani manusia.
2)
Factor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah “ kemauan “ yang
melahirkan tindakan yang kongkrit. Dan yang menjadi pokok disini adalah
“ kemauan baik “
3)
Dari kemauan yang baik itulah
dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya yaitu “ rasa kewajiban “.
Dengan demikian, maka menurut
aliran ini “ kemauan “ adalah merupakan factor terpenting dari wujudnya
tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu “ kemauan yang baik “adalah
menjadi dasar pokok dalam etika idealisme.
Menurut Kant, untuk dapat
terealisasinya tindakan dari kemauan yang baik, maka kemauan yang perlu dihubungkan
dengan suatu hal yang akan menyempurnakan, yaitu “ perasaan kewajiban “. Jadi,
ada kemauan yang baik, kemudian disertai dengan perasaan kewajiban menjalankan
sesuatu perbuatan atau tindakan, maka terwujudlah perbuatan atau tindakan yang
baik.
Perlu dijelaskan, bahwa rasa
kewajiban itu terlepas dari kemanfaatan, dalam arti kalau kita mengerjakan
sesuatu karena perasaan kewajiban, maka kita tidak boleh atau perlu memikirkan
apa untung dan ruginya dari pekerjaan atau perbuatan itu. Jadi, rasa kewajiban itu
tidak dapat direalisasi lagi kepada elemen-elemen yang lebih kecil, dalam arti
kewajiban itu hanya untuk kewajiban semata.
Immanuel Kant ( 1725-1804 )
juga menjelaskan pokok pedoman untuk menentukan hukum suatu perbuatan itu
menurut etika atau tidak, yakni:
a)
Bertindak sedemikian rupa, sehingga orang dapat
menjadikan pedoman tindakannya itu sebagai suatu peraturan umum. Umpamanya,
berbohong itu tidak dapat dibuat pedoman untuk umum. Jadi, bohong itu tidak
baik.
b)
Bertindaklah selamanya sedemikian
rupa, sehingga seseorang melayani orang lain sebagai suatu tujuan akhir ( end =
ghayah ), bukan sebagai suatu perantara atau alat ( wasilah ).
c)
Bertindaklah selamanya sedemikian rupa, sehingga
pedoman perbuatan itu menunjukkan otonomi kemauan. Jadi pokok kemauan itu harus
otonom, tidak terpengaruh oleh kemauan-kemauan dari luar.
Jelasnya bahwa pokok-pokok pandangan Immanuel Kant
adalah sebagai berikut :
1. Wujud yang paling
dalam dari kenyataan ( hakikat ) ialah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada
prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan
sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan
baik itu dilakukan juga karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam rohani
manusia.
2.
Factor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah kemauan yang
melahirkan tindakan yang kongkrit. Dan yang menjadi pokok disini adalah
kemauan yang baik.
3.
Dari kemauan yang baik itulah
dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya yaitu rasa kewajiban.
Terhadap etika Kant, terdapat beberapa catatan, antara lain:
a) Dasar etika Kant
ialah akal pikiran. Padahal etika seseorang itu dipengaruhi oleh factor-faktor
lain dan khususnya factor agama. Didalam ajaran agama terdapat banyak
larangan-larangan dan perintah-perintah
yang harus dipatuhi oleh pemeluk-pemeluknya.
b) Menurut Kant, yang
terpenting adalah kemauan. Factor kemauan saja sebenarnya belum cukup untuk
mewujudkan perbuatan. Sebab manusia itu mempunyai dorongan-dorongan,
kecenderungan-kecenderungan, dan sebagainya.
c) Kant mengandalkan
kekuatan akal didalam mencapai hakikat sesuatu. Akal dapat mengetahui hal-hal
secara eksperimental. Terhadap hal-hal yang abstrak, akal tidak dapat
mencapainya. Hal-hal yang gaib menurut ajaran agama yang harus diyakini secara
dogmatis, ia tidak bisa dibuktikan secara rasional, karena memang bukan
bidangnya.
d) Kant mendasarkan “
rasa kewajiban “ untuk terwujudnya perbuatan. Banyak hal-hal yang meminta
perhatian dalam etika, seperti pengorbanan, mengenyampingkan kepentingan diri
sendiri dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar