Minggu, 12 Februari 2012

Akhlak tasawuf: Aliran etika idealisme


A.    Aliran Etika Idealisme
Istilah idealisme berasal dari bahasa Gerika ( Yunani ), yaitu dari kata “ idea “, yang secara etimologis berarti; akal, pikiran, atau sesuatu yang hadir dalam pikiran, atau dapat juga disebut sesuatu bentuk yang masih ada dalam alam pikiran manusia.[1]
Pada pokoknya aliran ini sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia, sebab akal pikiran manusia inilah yang menjadi sumber ide.
Pengertian idealisme yaitu meliputi sejumlah besar sistem serta aliran kefilsafatan yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang besar antara yang satu dengan yang lain. Ciri pengenalan umum yang menunjukkan kesamaan yang dipunyai oleh sistem-sistem aliran-aliran tersebut ialah bahwa semuanya mengajarkan tentang pentingnya jiwa atau roh.
Menurut idealisme manusia pada dasarnya merupakan makhluk rohani. Sebuah contoh yang jelas mengenai idealisme ialah filsafat Hegel, yang menurut pendiriannya kenyataan berupa ide, roh akal atau pikiran. Maka menurut idealisme, nilai serta harkat manusia didasarkan atas kenyataan bahwa ia merupakan wahana roh dan berhakekat kejiwaan.[2]
Paham ini menganggap bahwa roh mempunyai kekuasaan yang besar, dan berpendapat bahwa dalam bapak terakhir bukan hanya manusia, melainkan kenyataan yang didalamnya ia hidup dan ikut ambil bagian ditentukan oleh faktor-faktor rohani. Tetapi, penganut-penganut paham ini jarang ada yang berpendapat bahwa kenyataan tersebut semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor rohani, pada umumnya mereka menerima suatu dualisme, yaitu dualisme antara roh dan alam, antara kerohanian dan kejasmanian, namun senantiasa menganggap roh mempunyai nilai tertinggi serta kekuatan besar.
Maka dari itu, ada macam-macam pengelompokan. Namun pengelompokan yang paling tinggi berfaedah bagi tujuan yang hendak dicapai agaknya ialah pengelompokan yang didasarkan atas perbedaan dalam kemampuan rohani yang diutamakan, yaitu apakah pikiran, perasaan, ataukah kehendak. Dengan demikian macam-macam pengelompokan aliran idealisme dibagi menjadi tiga, yaitu Idealisme Rasionalistik, Idealisme Estetik, Idealisme Etik. [3]
1.      Idealisme rasionalistik
Bahwa dengan menggunakan pikiran dan akal, manusia berusaha mengenal norma-norma bagi perilakunya, dan dengan demikian dapat sampai pada pemahaman tentang mana yang baik dan mana yang buruk , dan sebagai akibatnya dapat memahami apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Didalam sejarah etika pendapat semacam itu berkali-kali ditemukan  dalam salah satu bentuknya. Umpanya semboyan kaum Stoa  bahwa kita harus hidup dengan alam. Alam disini diartikan sama dengan akal budi, maka maksud semboyan tersebut adalah  bahwa manusia hidup dengan memakai akal budinya
Karena akal tidak dapat menetapkan tujuan bagi perbuatan, penetapan tujuan ini harus dilakukan secara lain. Manakala sekali tujuan telah ditetapkan, maka akallah yang yang bertugas menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Pikiran hanya menunjukkan sarana-sarana . bukan tujuan perbuatan.Etika rasionalistik memberikan seakan-akan tujuan yang diterapkan nya diperoleh secara akali dalam kenyataan yang sebenarnya diperoleh secara lain.
2.      Idealisme Estetik
Yang lebih tersebar luas dibandingkan dengan rasionalistik atau rasionalisme ialah idealisme estetik atau estetisisme dalam etika. Paham ini hendak mendekatkan perbuatan susila pada seni, dalam hal ini keinsyafan kesusilaan seakan-akan menjadi masalah citarasa. Tidaklah mengherankan jika para penganutnya sangat menghargai seni, khususnya keindahan, dan menganggap pemberian bentuk estetik sebagai hal yang sangat penting. Namun, ciri pengenal estetisisme ialah pendiriannya bahwa dunia, kehidupan, dan khususnya kehidupan manusia dipandang sebagai karya seni. Dunia ini merupakan ” kosmos ”, yang secara harfiah berarti kehidupannya juga merupakan karya seni atau setidak-tidaknya dapat menjadi karya seni.
3.      Idealisme Etik
Idealisme etik bertolak dari kenyataan kesusilaan, dan atas dasar tersebut menyusun pandangannya tentang dunia dan tentang kehidupan. Paham ini mengakui adanya lingkungan norma-norma moral yang berlaku bagi manusia dan yang menuntut manusia untuk mengujudkannya. Pertama-tama manusia itu dipandangnya sebagai makhluk susila, artinya, sebagai makhluk yang mempunyai keinsyafan akan baik dan buruk, dapat mengerjakan yang baik dan tidak mengerjakan yang buruk. Namun mengalami juga adanya kekuatan penentang yang besar yang terdapat di dalam maupun di luar dirinya, yang sedikit banyak dapat dikalahkannya. Sementara itu paham ini berpendirian bahwa di dalam semuanya itu terletak nilai dan harkat manusia. Sebuah contoh megah dari idealisme semacam ini adalah ajaran Kant, yang intinya berupa ajaran tentang imperatif kategorik, amar wajib tanpa syarat, amar ”dikau wajib” yang mutlak, namun yang didalamnya tersisa juga empat bagi ”keburukan radikal” yang terdapat dalam diri manusia, meskipun dalam babak terakhir hal ini megacu kepada alam kekebebasan.
Idealisme semacam ini juga dianut oleh orang-orang lain dalam bentuk yang lain. Menurut mereka tidaklah perlu bahwa umar tersebut, seperti yang diajarkan Kant, tetap bersifat formal dan tanpa isi; ada pula idealisme etik yang mengakui norma-norma tertentu. Salah satu contoh adalah etika nilai yang telah dipaparkan di depan, yang didalamnya norma-norma moral dijabarkan dari nilai-nilai kesusilaan yang berlaku, seperti, misalnya, keadilan, keberanian, dan sebagainya. Dalam hubungan ini kita juga ingat idealisme dalam arti yang umum sehari-hari. Penggunaan bahasa sehari-hari mengartikan kata ”idealisme” sebagai sesuatu keyakinan akan ada idaman-idaman yang bersifat pribadi dan kemasyarakatan, yang sepenuhnya mempengaruhi manusia serta menunututnya akan dijelmakan. Dengan demikian idaman-idaman.tersebut menghendaki agar manusia mengujudkannya. Sementara itu pengujudan tersebut hanya dapat terjadi dengan kerja keras, perjuangan serta pengorbanan, dan karenanya biasanya hanya sebagian yang berhasil. Namun demikian usaha yang sungguh-sungguh itu sendiri sudah memberikan makna serta isi kepada kehidupan, karena dalam hal ini yang penting bukanlah berhasil-tidaknya, melainkan usahanya itu sendiri.
Ditinjau dari segi etika, bentuk idealisme ini mempunyai kenertan-keberatan yang paling sedikit. Hal ini dapat dimengerti, karena paham ini bertolak dari gejala kesusilaan dan benar-benar memandangnya apa seperti apa yang kita lihat. Bhawasanya ada juga bahaya-bahaya yang mengancamnya, telah kita saksikan setelah kita menunjukkan segi-segi yang berbahaya yang melekat pada etika wwajib murni. Bahaya lain yang mengancamnya ialah bahwa idealisme etik dengan mudah bersikap terlampau optimistik.
Paham ini melebih-lebihkan kekuasaan cita-cita terhadap kenyataan serta meremehkan kekuatan-kekuatan penentang terhadap dalam kenyataan berupa manusia. Juga dipertanyakan apakah paham ini selalu mempunyai perhatian yang cukup terhadap kenyataan bahwa manusia membutuhkan  kekuatan agar dapat menggali sumber kekuatan yang diperlukan itu. Bahkan dapat pula dipertanyakan dari manakah asal mula cita-cita itu; apakah ada sesuatu atau seseorang  yang menetapkannya atau apakah cita-cita tersebut tidak menentu melayang-layang di atas kenyataan? Akhirnya dapat pula disjukan pertanyaan apakah idealisme sudah cukup memperhitungkan bahwa manusia dapat juga mengalami kegagalan dan apakah paham ini cukup dalam dirembesi oleh sikap yang mengaruskan pemberian maaf.
Keberatan-keberatan itu untuk sebagain dapat diatasi didalam idealisme; misalnya, ada idealisme yang sangat menyadari mengenai adanya jarak Pemisah yang lebar antara idaman dengan kenyataan. Untuk sebagian yang lain keberatan-keberatan bersal dari pandangan dunia serta pandangan hidup yang idealistik, yaitu yang berasal dari pandangan dunia  serta pandangan hidup yang bersifat keagaman. Keberatan-keberatan tersebit terutama tidak menyangkut pandangan yang dipunyai oleh idealisme mengenai gejala kesusilaannya sendiri, melainkan menyangkut pendiriannya mengenai latar belakang serta landasan yang dipunyai oleh paham ini. Dalam hal ini keberatan-keberatan tersebut mungkin cukup besar.
Aliran idealisme dipelopori oleh Immanuel Kant ( 1724-1804 ) seorang yang berkebangsaan Jerman. Pokok-pokok pandangan etika Idealisme dapat disimpulkan sebagai berikut:[4]
1)      Wujud yang paling dalam dari kenyataan ( hakikat ) ialah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar “ kemauan sendiri “ atau “ rasa kewajiban “. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam rohani manusia.
2)      Factor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah “ kemauan “ yang melahirkan tindakan yang kongkrit. Dan yang menjadi pokok disini adalah “ kemauan baik “
3)      Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya yaitu “ rasa kewajiban “.
Dengan demikian, maka menurut aliran ini “ kemauan “ adalah merupakan factor terpenting dari wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu “ kemauan yang baik “adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealisme.
Menurut Kant, untuk dapat terealisasinya tindakan dari kemauan yang baik, maka kemauan yang perlu dihubungkan dengan suatu hal yang akan menyempurnakan, yaitu “ perasaan kewajiban “. Jadi, ada kemauan yang baik, kemudian disertai dengan perasaan kewajiban menjalankan sesuatu perbuatan atau tindakan, maka terwujudlah perbuatan atau tindakan yang baik.
Perlu dijelaskan, bahwa rasa kewajiban itu terlepas dari kemanfaatan, dalam arti kalau kita mengerjakan sesuatu karena perasaan kewajiban, maka kita tidak boleh atau perlu memikirkan apa untung dan ruginya dari pekerjaan atau perbuatan itu. Jadi, rasa kewajiban itu tidak dapat direalisasi lagi kepada elemen-elemen yang lebih kecil, dalam arti kewajiban itu hanya untuk kewajiban semata.
Immanuel Kant ( 1725-1804 ) juga menjelaskan pokok pedoman untuk menentukan hukum suatu perbuatan itu menurut etika atau tidak, yakni:
a)            Bertindak sedemikian rupa, sehingga orang dapat menjadikan pedoman tindakannya itu sebagai suatu peraturan umum. Umpamanya, berbohong itu tidak dapat dibuat pedoman untuk umum. Jadi, bohong itu tidak baik.
b)            Bertindaklah selamanya sedemikian rupa, sehingga seseorang melayani orang lain sebagai suatu tujuan akhir ( end = ghayah ), bukan sebagai suatu perantara atau alat ( wasilah ).
c)            Bertindaklah selamanya sedemikian rupa, sehingga pedoman perbuatan itu menunjukkan otonomi kemauan. Jadi pokok kemauan itu harus otonom, tidak terpengaruh oleh kemauan-kemauan dari luar.
Jelasnya bahwa pokok-pokok pandangan Immanuel Kant adalah sebagai berikut :
1.      Wujud yang paling dalam dari kenyataan ( hakikat ) ialah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu dilakukan juga karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam rohani manusia.
2.      Factor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah kemauan yang melahirkan tindakan yang kongkrit. Dan yang menjadi pokok disini adalah kemauan yang baik.
3.      Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya yaitu rasa kewajiban.
Terhadap etika Kant, terdapat  beberapa catatan, antara lain:
a)      Dasar etika Kant ialah akal pikiran. Padahal etika seseorang itu dipengaruhi oleh factor-faktor lain dan khususnya factor agama. Didalam ajaran agama terdapat banyak larangan-larangan  dan perintah-perintah yang harus dipatuhi oleh pemeluk-pemeluknya.
b)      Menurut Kant, yang terpenting adalah kemauan. Factor kemauan saja sebenarnya belum cukup untuk mewujudkan perbuatan. Sebab manusia itu mempunyai dorongan-dorongan, kecenderungan-kecenderungan, dan sebagainya.
c)      Kant mengandalkan kekuatan akal didalam mencapai hakikat sesuatu. Akal dapat mengetahui hal-hal secara eksperimental. Terhadap hal-hal yang abstrak, akal tidak dapat mencapainya. Hal-hal yang gaib menurut ajaran agama yang harus diyakini secara dogmatis, ia tidak bisa dibuktikan secara rasional, karena memang bukan bidangnya.
d)     Kant mendasarkan “ rasa kewajiban “ untuk terwujudnya perbuatan. Banyak hal-hal yang meminta perhatian dalam etika, seperti pengorbanan, mengenyampingkan kepentingan diri sendiri dan sebagainya.



[1]   Lihat Suhrawardi K. Lubis. Etika Profesi Hukum. Hlm.46
[2]   H. Devos. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1987, hlm 203
[3]    H. Devos. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1987, hlm 204

[4] A. Mustofa. Akhlak Tasawuf. 1997: Pustaka Setia. Hlm 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar