Minggu, 12 Februari 2012

Politik Hukum Islam pada masa Rasulullah dan khulafaurrasyidin


  1. Kehidupan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin Dalam Menentukan Politik Hukum Islam
Rasulullah SAW pada masa hidupnya adalah tempat kembali umat islam dalam mengatur urusan kehidupan mereka secara integral, baik dalam bidang hukum, peradilan dan operasionalnya. Undang-undang yang mengatur urusan ini adalah wahyu dan petunjuk-Nya dalam berijtihad demi kemaslahatan, serta berdasarkan pendapat-pendapat sahabat dalam kasus yang tidak ada dalilnya. Dasar yang mengatur urusan ini adalah melihat kebutuhan umat dan menjalin kemaslahatan kehidupan mereka.
Rasulullah SAW meninggalkan kepada umatnya dua petunjuk, manusia tidak akan sesat apabila menjadikannya sebagai petunjuk hidup yaitu al-qur’an maupun Hadis. Sedangkan dasar yang ketiga dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak ada nash nya, baik al-Qur’an dan Hadis adalah ijtihad sebagaimana metodologinya sudah dikenalkan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan. Hal ini karena rasulullah SAW sering menyampaikan hukum dibarengi dengan sebab ( illah ) dan maslahah. Ini merupakan pengakuan Rasulullah SAW terhadap hukum dan maslahah, sebab tujuan hukum islam adalah menarik kemanfa’atan dan menolak kerusakan, seperti contoh sabda Rasulullah SAW tentang larangan menikah antara wanita dan bibinya ” sesungguhnya bila itu kamu lakukan berarti memutus kerabatmu ”. Dan sabdanya tentang larangan  menyimpan daging qurban yang kemudian diperbolehkan ” saya melarang kalian menyimpannya kecuali untuk menjamu tamu ”.
Contoh peristiwa tersebut banyak sekali terlintas dalam hati umat islam, bahwa puncak tujuan hukum islam adalah demi maslahah, apabila ada kemaslahatan, maka itulah hukum Allah Swt. Dan bagi umat islam mempunyai peranan dalam merealisasi maslahah tersebut, apabila dalam kasus tertentu tidak didapatkan nash, maka diperbolehkan untuk berijtihad.
Semangat ijtihad seperti ini pernah di tempuh oleh para sahabat khulafa al-Rasyidin setelah Rasulullah wafat dalam mengatur urusan kepentingan  masyarakat suatu pemerintahan, mereka menjadikan hukum Allah SAW ( al-Qur’an ) sebagai struktur dan sistem pemerintahan negara, begitu juga hadis. Apabila ada peristiwa yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits, maka mereka berijtihad. Sedangkan mengikuti jalan ijtihad adalah untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia dan tidak bertentangan dalam kehidupan manusia selama tidak bertentanangan dalam kehidupan manusia dan tidak bertentangan dengan spirit agama, sebab sebagaian ijtihad sahabat ada yang kontradiksi dengan pemahaman dhahir nas. Seorang mujtahid tidak boleh dituduh salah, dan metodenya tidak benar, selama tujuannya itu demi kemaslahatan dan menegakkan keadilan hukum  Allah SWT. Sebab untuk merealisasi keadilan hukum Allah SWT tersebut adalah dengan jalan berijtihad.
Abu bakar pernah berijtihad dan mengangkat Umar sebagai pemimipin umat islam. Begitu juga Umar berijtihad waktu itu tidak ada seorang pun yang mengganti sebagai pemimipin, dan meninggalkan urusan yang sebenarnya harus dimusyawarahkan antara enam sahabat. Ijtihad Abu Bakar dan Umar itu bukan berarti ijtihad sahabat lain. Ijtihad Abu Bakar dan Umar dalam kasus tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw, sebab Rasulullah tidak  pernah menentukan figur seorang pemimipin, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar, dan tidak meninggalkan asas bermusyawarah dengan enam sahabat, sebagaimana yang dilakukan Umar. Dan tuduhan terhadap salah satu darinya bahwa bahwa ijtihadnya itu bertentangan dengan hukum Allah adalah karena ijtihad itu bertujuan untuk kemaslahatan dan ijtihad dengan batas kemampuan maksimal.
Umar berijtihad dan menentukan talaq tiga kepada suami yang menjatuhkan talaq tiga dengan satu ucapan sebagaimana firman Allah SWT.
” Talaq ( yang dapat dirujuki ) dua kali. ( al-Baqoroh: 229 )
Bagi Umar ayat ini tidak samar lagi, karena talaq tiga kali pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan permulaan Khalifah Umar adalah dianggap talaq satu. Pada masa Rasulullah ada seseorang laki-laki menjatuhkan talaq pada isterinya kemudian berita itu sampai pada Rasulullah maka beliau bersabda ” Apakah dia main-main dengan kitab Allah sedangkan saya masih ada dihadapan kalian ”. Bagi umar tidak samar lagi tentang hadits ini. Akan tetapi, Umar melihat mayoritas manusia main-main dalam hal talaq, sehingga Umar menetapkan kepada kepada mereka dengan ketetapan Rasulullah tersebut, untuk menghindari permainan manusia dalam masalah talaq. Inilah yang dimaksud dengan komentar Umar ” Sesungguhnya manusia telah bergegas dalam melakukan sesuatu, padahal mereka melakukan hal itu perlahan-lahan, meskipun kita mmelakukannya atas mereka.” maka Umar melakukannya. Oleh karena itu Ibn Taimiyyah berkomentar: ” sesungguhnya politik Umar menetapkan talaq tiga dengan satu ucapan, dan Umar menutup pintu kebolehan ( tahlil ), tentu umpama diketahui bahwa manusia mengikuti kebolehan ( tahlil ), tentu Umar berpendapat bahwa pengakuan mereka pada masa Rasulullah, Abu bakar dan permulaan khalifah Umar itu lebih Utama.[1]
Begitu juga dalam masalah peradilan dan metodologi hukum, para sahabat dalam menghadapi setiap dalil didasarkan atas kemampuan hati yang efektif, petunjuk keadilan dan kebenaran, mereka tidak melihat terhadap dalil tertentu yang membutuhkan keterangan saksi atau pengakuan.
Para sahabat dalam melaksanakan hukum melihat asas kemaslahatan situasi dan kondisi manusia, seperti Umar tidak memotong tangan seorang pencuri pada musim sulit makanan dan tidak membagikan zakat kepada golongan muallaf. Inilah kebijaksanaan yang ditempuh pemimpin islam pertama kali dalam merealisasikan hukum islam,peradilan, dan aplikasinya dalam mengatur urusan pemerintahan, sehingga hukum islam tidak sempit sebab timbulnya peristiwa baru, dan adanya kebutuhan yang mendesak serta tidak sempit dalam merealisasi kemaslahatan dalam perubahan zaman. Dengan menempuh jalan seperti itu manusia tidak akan mengklaim bahwa hukum islam itu statis. Isu tersebut tidak dikenal dalam hukum islam atau politik hukum islam. Akan tetapi, semua hukum Allah itu bersumber dari al-qur’an dan hadits serta ijtihad dan ulama yang mengutamakan asas kemaslahatan dengan mencurahkan otoritas  intelektual dalam ijtihad, sebab Allah tidak menciptakan hukum islam kecuali demi kemaslahatan bagi hamba-Nya.
Para mujtahid dalam situasi dan kondisi tertentu merasa kesulitan adanya batasan dan kesempitan metodologi yang mereka ciptakan demi kemaslahatan manusia, mereka mencoba menghindar dari kesempitan tersebut dengan menciptakan istihsan, seperti contoh akad muzara’ah . akan tetapi, menurut kaidah ijtihad bahwa muzara’ah itu akad yang batal tetapi mereka berpendapat bahwa itu merupakan kebutuhan yang mendesak ( darurat ) demi kemaslahatan manusia, mereka memperbolehkan akad muzara’ah dengar dasar istihsan. Dan istihsan termasuk bagian ijtihad yang ditempuh oleh ulama salaf.
Karena adanya upaya mengesampingkan maslahah al-mursalah[2] dalam hukum islam dan meninggalkan aturan dalam peradilan dan metode khusus untuk mencapai suatu kebenaran dan aplikasinya, maka muncullah fiqh islam yang mengatur urusan pemerintahan karena keterbatasan sisitem dalam merealisasi kemaslahatan manusia yang relevan pada perkembangan zaman. Maka para pakar politik hukum dan lembaga eksekutif mencoba mengaktualisasikan asas kemaslahatan bagi kehidupan manusia dan mengatur pemerintahan itu mengacu kepada sistem dan undang-undang formal yang tidak ditetapkan oleh para ulama’ ahli ijtihad. Dan mayoritas mereka menghendaki metode formal dan undang-undang pidana, karena mereka mempunyai tujuan mementingkan stabilitas dan menghukum para pakar pelaku kriminal. Dengan demikian, kita harus mengambil dan berpegang pada realita  yang ada dan menghindar dari keterikatan metode ulama fiqh. Berangkat dari fenomena tersebut, maka umat islam berpendapat bahwa sistem hukum itu ada dua macam:
a.       Produk hukum yang dihasilkan oleh mujtahid fiqh berdasarkan atas metodologi yang mereka ciptakan
b.      Kebijaksanaan para pakar politik dalam merealisasi kemaslahatan dalam menghadapi perkembangan zaman. Macam yang kedua ini menurut situasi dan kondisi para ahli tersebut, kadang-kadang berkisar pada batasan untuk merealisasi kemaslahatan yang tidak menyimpang dari batasan dan dasar-dasarnya secara totalitas, dan juga kadang-kadang mengutamakan tujuan dan kemaslahatan yang bersifat tidak lengkap.
 Ibn al-Qayyim mengutip dalam kitabnya ” al-turuq al-hukmiyyah ” dari Ibn Aqli dia berkomentar: politik hukum islam itu sebagai sarana bagi umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan menghindar dari kerusakan, meskipun sistem ini tidak pernah diletakkan Rasulullah SAW. Dan tidak ada wahyu yang turun karena nya. Barangsiapa yang menganggap tidak ada politik kecuali yang sudah ditetapkan oleh hukum islam, maka persepsi itu salah dan tentu menyalahkan sahabat, sebab seperti yang pernah dialami oleh khulafa’ al-Rasyidin yang tidak diingkari oleh para ulama ahli hadits yaitu kasus pembakaran yang dilakukan sahabat Ali terhadap golongan zindiq dan pembakaran mushaf yang dilakukan oleh sahabat Usman.[3]
Ibn al-Qayyim berkomentar dalam kitabnya: ” al-Turuq al-Hukmiyyah ”. Inilah tempat kesalahan dan pemahaman yang menyesatkan dan sangat dangkal, ada kelompok yang melangar batas-batas, menyia-nyiakan hak dan menjerumuskan kerusakan serta menjadikan hukum islam menjadi sempit dan tidak di tegakkan  demi kemaslahatan manusia. Mereka menutup jalan yang benar atas diri mereka dalam mengetahui kebenaran dan aplikasinya. Mereka mengosongkan ilmunya dan mereka tidak mempunyai persepsi sesuai realita. Ketika para pemimpin melihat masalah tersebut bahwa manusia tidak akan menjadi lurus urusannya kecuali dengan perintah yang berangkat dari ketetapan politik. Maka berangkat dari pemahaman tersebut ternyata mereka krisis tentang syari’ah, krisis politik dan muncul kerusakan yang berkepanjangan, sehingga masalahnya sulit untuk dideteksi. Suasana alam semesta akan menjadi cemerlang dengan hukum yang didasari jiwa yang murni dan terhindar dari kerusakan-kerusakan. Ada juga golongan yang bersikap berlebihan, dimana golongan ini memanipulasi sebagaian hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua golongan ini terlihat sangat dangkal pemahamannnya terhadap ajaran wahyu yang diturunkan allah SWT kepada Rasul-Nya, dan kitab yang diturunkan kepadanya, sebab Allah SWT mengutus Rasul dan menurunkan kitab-Nya supaya manusia bersikap lurus dan adil yang tegak seperti langit dan bumi. Apabila tanda-tanda keadilan nampak jelas, maka itulah hukum Allah SWT dan esensi agama-Nya. Sebab Allah SWT Maha Mengetahui  dan Maha adil dalam menetapkan hukum menuju jalan keadilan. Dan tidak menghapus perkara yang sudah jelas, bahkan Allah SWT menjelaskan bahwa segala yang disyari’atkan itu bertujuan untuk menegakkan asas keadilan kepada para hamba-Nya dan mendorong manusia berbuat adil. Apabila ada jalan yang berasaskan keadilan, maka itulah agama Allah SWT. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa politik yang adil itu kontradiksi dengan hukum Allah SWT akan tetapi, politik yang adil itu relevan dengan islam. Bahkan itu bagian darinya. Dan Abdul Wahhab Khallaf menyebut istilah politik, karena mengikuti istilah yang berkembang diantara ulama, itulah keadilan hukum Allah dan Rasul-Nya yang sudah jelas.   


[1] Abdul Wahhab Khallaf. Politik Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara kencana, 1994. Hlm 3
[2] Mashalihul bentu jamak dari maslahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas, dengan demikian Mashalihul Mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah menetapkan hokum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Politik hukum Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994, hlm 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar