Kamis, 02 Februari 2012

Hukum tiga Tahap Auguste Comte Vs Ritual Nyadran

 Karya Comte yang sangat prihatin terhadap anarki yang merasuki masyarakat dan mencela pemikir Perancis yang menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Menjadikan Ia mengembangkan pandangan ilmiahnya, yakni “ positivisme “ atau “ filsafat positif “, untuk memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan. Sejalan dengan, dan di pengaruhi oleh, pemikir katolik Perancis antirevolusi ( terutama de Bonald dan de Maistre ). Tetapi, pemikiran Comte dapat dipisahkan dari pengaruh kedua pemikir itu.
 Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam di mana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum social kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Prancis.
 Positivis menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasarkan hukum-hukum alam, serta strategi untuk mengadakan pembaruan-pembaruan masyarakat. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala social dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaruan-pembaruan social dan politik untuk menyelaraskan institusi –institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya akan berupa suatu masyarakat di mana penalaran akal budi akan menghasilkan kerja sama dan di mana tkhayul, ketakutan, kebodohan, paksaan, dan konflik akan di lenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap dari positivisme.
 Landasan pendekatan Comte yakni mengenai Teori Evolusinya atau Hukum Tiga Tingkatan. Teori yang dikemukakannya, menyatakan adanya tiga tingkatan intelektual yang harus dilalui dunia di sepanjang sejarahnya. Menurut Comte, tidak hanya dunia yang akan melewati proses ini, tetapi juga kelompok masyarakat, ilmu pengetahuan, individu, dan bahkan pemikiran berkembang melalui tiga tahap yang sama. Tiga tahap tersebut adalah :
1)      Tahap Teologis
Tahap teologis menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam periode ini system gagasan utamanya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adikodrati, tokoh agama dan keteladanan kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Dunia social dan alam fisik khususnya dipandang sebagai ciptaan Tuhan.
2)      Tahap Metafisik
Tahap metafisik terjadi kira-kira antara 1300-1800. Era ini ditandai oleh keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukannya dewa-dewa personal. Tahap ini merupakan tahap transisi antara teologis ke tahap positif.
3)      Tahap positivis
Pada tahun 1800 dunia memasuki tahap positivistic yang ditandai oleh keyakinan terhadap ilmu Sains ( Science ). Manusia mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap penyebab absolute ( Tuhan atau alam ) dan memusatkan perhatian pada pengamatan terhadap alam fisik dunia social guna mengetahui hukum-hukum yang mengaturnya.
Jelas bahwa dalam teorinya tentang dunia, Comte memusatkan perhatian pada factor intelektual. Ia menyatakan bahwa kekacauan intelektual menyebabkan kekacauan social. Kekacauan ini berasal dari system gagasan terdahulu ( teologi dan metafisik ) yang terus ada dalam era positif ( ilmiah ). Pergolakan social baru akan berakhir bila kehidupan masyarakat sepenuhnya dikendalikan oleh positivisme. Positivisme akan muncul meski tidak secepat yang diharapkan orang. Menurut pandangan Comte, kehidupan didunia ini sudah cukup kacau, dan yang dibutuhkan dunia adalah perubahan intelektual. Karena itu hampir tidak ada alasan untuk melakukan revolusi politik dan social.
A.   Kritik Hukum Tiga Tahap Auguste Comte Beserta Hubungannya Dengan Realita Yang Ada
Pemikiran Positivisme yang di kemukakan oleh Comte mengabaikan tahap teologis dan metafisik. Menurutnya, manusia akan menghubungkan peristiwa-peristiwa atau fenomena-fenomena dengan penjelasan ilmu pengetahuan dan Realitas atau data-data empiris dipercaya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Teologi sampai saat ini tetap hidup dan dipandang penting. Karena setiap tahap baru, sisa-sisa tahap lama masih hidup walau tidak dominan. Dari situ sudah terlihat bahwa Comte gagal melihat bahwa agama mempunyai kemampuan adaptasi yang luar  biasa, sehingga mampu untuk terus bertahan dan berperan penting bagi masyarakat. Yang terjadi  saat ini, agama dan ilmu pengetahuan sama-sama hidup.
Jika dibuktikan dengan realitas yang berkembang dalam masyarakat di daerah saya. Misalnya adanya adat upacara ritual Nyadran. Nyadran berasal dari kata  bahasa Jawa  Sadran “ yang berarti Ruwah, Sya’ban. Lambat laun kata tersebut kemudian didefinisikan sebagai upacara kenduri yang diadakan di tempat tertentu, misalnya ditempat keramat, masjid, rumah, atau tempat lainnya. Nyadran diartikan upacara ritual selamatan petik laut ke makam  Dewi Sekardadu di dusun Kepetingan desa Sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Upacara ini juga disebut sebagai tasyakuran atau selamatan dari para nelayan setempat karena ada asal-usulnya.
Biasanya ritual ini dilaksanakan dengan didahului ziarah ke makam leluhur, mengadakan tumpengan ( selamatan ) di masing-masing rumah nelayan dan juga menyiapkan makanan dan sesajen berupa ayam panggang,nasi, pisang, dan kue di masukkan ke dalam tomblok ( tempat makanan yang terbuat dari bambu ) untuk dibawa ke pesta Nyadran di selat Madura. Kegiatan nyadran ini sudah menjadi tradisi masyarakat balongdowo dari abad ke abad, bahkan sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat.
Asal-usul mengenai Nyadran sendiri, tidak seorang masyarakatpun tau. Bahkan sesepuh dan tokoh masyarakat di desa saya tidak mengetahui persis asal-usul sejarahnya. Masyarakat menganggap bahwa Nyadran merupakan suatu adat atau tradisi yang dilakukan nenek moyang dan terus dilaksanakan oleh generasi sesudahnya. Masyarakat juga  menganggap Nyadran ini harus dilakukan setiap setahun, karena ritual ini merupakan selamatan para nelayan. Biasanya Nyadran di lakukan pada malam hari. Di pagi harinya para ibu-ibu menyiapkan masakan untuk sesajen. Sedangkan para bapak-bapak, anak-anak kecil, dan para remaja menghias perahu yang ada di laut kupang untuk di gunakan arak-arakan.
Penduduk setempat  percaya bahwa jika Nyadran tidak dilaksanakan maka Hasil lautnya yang berupa kupang tidak akan melimpah. Konon, pada sekitar tujuhbelas tahun yang silam. pernah masyarakat mencoba meninggalkan tradisi yang dianggapnya tidak berguna tersebut, karena berkembangnya pemikiran manusia seperti yang dikatakan Comte, yaitu tahap positifis.
Masyarakat mengatakan bahwa ritual-ritual tersebut tidak ada gunanya. Alat-alat dalam memanen hasil lautpun sudah modern. Untuk apa masih melakukan ritual-ritual yang menghabiskan biaya. Jika memang hasil laut itu tidak melimpah nantinya. Itu karena terlalu seringnya kupang-kupang diambili. Sebagaimana jika difikir secara positifis, sumber daya alam yang dikeruk terus menerus tanpa batas, maka lama kelamaan akan habis. Tetapi, ketika mereka mencoba meninggalkan pemikiran teologisnya, dengan tidak melaksanakan tradisi ritual Nyadran tersebut, yang terjadi penghasilan para nelayan memang benar-benar tidak melimpah. Masyarakat mencoba berfikir ulang. Dan berinisiatif bahwa memang ritual Nyadran ini tidak boleh ditinggalkan. Kemudian  mereka berfikir kearah teologis. Yakni kembali pada Sang Pencipta Langit dan Bumi yaitu Allah. Mungkin ini adalah sebuah teguran. Akhirnya ritual Nyadran ini tetap dilaksanakan, dan memang terbukti hasil kupangnya melimpah lagi. Nyadran tetap dilakukan karena sebagai rasa syukur terhadap karunia Allah yang telah memberikan nikmat berupa hasil kupang yang melimpah. Dan jika ditinggalkan akan ada akibat hukuman. Hukuman tersebut berupa hasil laut yang tidak melimpah. Tradisi nyadran tersebutpun hingga kini masih dilaksanakan.
Artinya tingkat pemikiran manusia yang semakin modern ternyata tidak mampu untuk menghilangkan pemikiran teologis. Teologi sampai saat ini tetap hidup dan dipandang penting. Karena setiap tahap baru, sisa-sisa tahap lama masih hidup walau tidak dominan. Dari situ sudah terlihat bahwa Comte gagal melihat bahwa agama mempunyai kemampuan adaptasi yang luar  biasa, sehingga mampu untuk terus bertahan dan berperan penting bagi masyarakat. Yang terjadi  saat ini, agama dan ilmu pengetahuan sama-sama hidup.
B.   Solusi Kritik Auguste Comte
Memang pada saat itu teori Comte benar. Tetapi, jka dihubungkan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang, nampaknya teori tersebut kurang mendukung untuk menyelesaikan fenomena hanya dengan pemikiran ilmu pengetahuan serta didukung dengan data-data yang analitis. Namun Comte tidak melihat jika seluruh kejadian alam di bumi ini sudah diatur oleh yang Maha Kuasa.
Jadi, solusinya. Selama fenomena itu bisa diteliti dengan ilmu pengetahuan serta didukung dengan data-data yang empiris dan analitis, kita boleh mempercayainya tanpa mengesampingkan factor teologis, namun jika ilmu pengetahuan itu tidak mampu lagi untuk menjawab gejala fenomena itu. Jalan terakhirnya adalah kembali kepada kuasa Tuhan. Intinya,  kita mengkolaborasikan antara ilmu pengetahuan dengan kuasa Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar